Minggu, 20 Januari 2013

Pesona Anak-Anak dalam Sastra Oleh Maria Magdalena Bhoernomo | Sabtu, 19 Januari 2013

Karya-karya sastra yang sangat populer dan bahkan fenomenal ternyata mengangkat tokoh anak-anak. Misalnya, dongeng-dongeng karya HC Andersen, novel serial Harry Potter karya JK Rowling dan kumpulan cerpen Palestine's Children karya Ghassan Kanafani menjadi karya best seller tingkat internasional karena mengangkat tokoh anak-anak. Begitu juga novel Laskar Pelangi dan novel-novel lain karya Andrea Hirata, yang menjadi best seller, karena mengangkat tokoh anak-anak.

Fakta tersebut menunjukkan bahwa sastra dengan tokoh anak tidak bisa diremehkan. Dengan kata lain, sastra dengan tokoh anak ternyata memang penuh pesona, karena hadirnya tokoh anak-anak dengan keistimewaan-keistimewaan yang sudah pasti sangat menarik. Pembaca terpuaskan karena seolah-olah berjumpa dengan narasi dan deskripsi tentang dunia anak-anak yang maha indah. Keterpesonaan pada narasi dan deskripsi tokoh anak-anak dalam sastra, bagi kalangan pembaca dewasa khususnya, juga bisa saja menjadi suatu pengalaman imajinatif yang paling indah dalam kehidupannya. Ini berdasarkan banyak fakta bahwa masa kanak-kanak adalah sorga yang hilang bagi banyak orang yang sudah dewasa. Pengalaman menemukan sorga yang hilang, betul-betul menyenangkan bagi pembaca sastra yang mengangkat tokoh anak-anak. Hal ini sudah tentu telah dimengerti oleh penulisnya. Dan oleh karenanya, penulis sastra dengan tokoh anak umumnya sengaja memilih bahasa yang simpel tapi unik dan puitis agar mudah dicerna tapi sulit dilupakan oleh kalangan pembacanya di segala usia. Misalnya, frasa-frasa dalam novel Laskar pelangi banyak yang puitis tapi simpel sehingga mudah dicerna oleh kalangan pembaca segala usia. Dan adanya kosakata-kosakata baru juga disertai dengan penjelasan artinya sehingga pembaca tak perlu salah paham atau kesulitan memahaminya.

Sastra dengan tokoh anak memang penuh pesona dan tidak bisa diremehkan, karena ditulis dengan mematuhi norma-norma sastra konvensional. Misalnya, alur cerita jelas, deskripsi penokohannya tegas dan seting atau latarnya bernas. Dengan demikian sastra dengan tokoh anak bukan termasuk fiksi yang gelap atau remang-remang yang syarat multitafsir.

Bagi kalangan kritikus sastra, boleh saja menilai sastra demikian cenderung lemah secara leterer. Maksudnya tentu lemah dalam hal eksporasi ide dan imajinasi liar yang memberi peluang seluas-luasnya bagi pembaca untuk mencoba menafsirkannya. Tapi kelemahan leterer tidak serta merta layak dijadikan vonis untuk merendahkannya. Selama ini, kalangan kritikus sastra memiliki kecenderungan sikap seperti pria hidung belang yang gemar mengunjungi lokalisasi pelacuran. Mereka selalu datang dengan satu harapan: semoga ada yang baru. Harapan demikian telah menghapus sikap apresiatif terhadap semua yang telah menjadi bagian masa lalu atau menjadi barang lama. Sikap seperti pria hidung belang tentu bukan milik pembaca awam. Dengan kata lain, bagi pembaca awam, setiap membaca sastra bertokoh anak adalah kesempatan berwisata ke "sorga yang hilang" dengan cerita dan tokoh lain tapi bukan baru. Dan lazimnya, sastra yang disukai pembaca dewasa adalah yang bisa mengajak berfantasi menikmati masa kanak-kanak yang indah. Dengan norma sastra yang serba konstan, sastra dengan tokoh anak tidak perlu ditimbang-timbang berat ringannya dengan rumus-rumus leterer yang terlalu rumit. Bahkan, sastra demikan tidak selayaknya dibandingkan dengan sastra remaja atau dewasa yang sengaja ditulis dengan semangat propaganda terhadap nilai-nilai atau ideologi sosial politik tertentu.
Meski demikian, sastra dengan tokoh anak bukan berarti pepesan kosong yang tak berisi propaganda atau misi. Bahkan sastra demikian umumnya ditulis dengan semangat menawarkan misi kemanusiaan yang abadi (humanisme universal) sehingga akan tetap relevan menjadi bacaan untuk semua generasi.

Sastra dengan tokoh anak memang mempesona dan tidak bisa diremehkan, tapi faktanya sering diabaikan oleh kalangan kritikus sastra. Dan sejauh ini, banyak karya sastra demikian belum mendapat respon proporsional dari kalangan kritikus sastra yang kredibel. Kesannya kemudian selalu klise: bahwa kalangan kritikus sastra bagaikan hidup di menara gading yang tak mudah tergiur riuhnya dunia di sekelilingnya. Dengan kata lain, kalangan kritikus sastra cenderung antipati terhadap apresiasi yang telah ditunjukkan oleh khalayak. Bahkan seolah-olah selera khalayak yang terpesona kepada sastra bertokoh anak dianggap tidak penting dan tidak mampu mendorong kritikus untuk menulis kritik yang proporsional untuk sastra anak.

Layak dicurigai, betapa kecenderungan antipati terhadap sastra bertokoh anak bisa jadi sengaja dipilih oleh kalangan kritikus sastra untuk tetap mempertahankan hegemoni nilai-nilai tertentu meski nyata-nyata berseberangan dengan selera khalayak. Dalam hal ini, selera khalayak akan cenderung dianggap rendah dan tidak layak dicatat dan diapresiasi. Efeknya, sudah pasti akan merugikan dunia sastra secara keseluruhan. Misalnya, sastra yang baik menurut kritikus sastra bisa jadi tidak menarik bagi khalayak, sehingga jarang ada karya sastra yang berkualitas menjadi best seller. Dengan demikian, antipati terhadap sastra bertokoh anak-anak tidak selayaknya dipertahankan oleh kalangan kritikus sastra. Sudah saatnya sastra demikian juga dikritik secara proporsional sehingga dunia sastra menjadi cerah di masa-masa mendatang.

*) Maria Magdalena Bhoernomo, Penikmat sastra, tinggal di Kudus, Jateng.

Jumat, 18 Januari 2013

Strategi Menarik Tingkatkan Minat Baca

Ummi Hadyah Saleh
Kamis, 01 November 2012 13:21 wib


JAKARTA - OKE ZONE -Membaca adalah aktivitas yang sangat bermanfaat. Selain menambah wawasan, dengan membaca kita juga bisa melatih kemampuan berpikir. Meski begitu bermanfaat, sebagian orang justru banyak menyepelekan kegiatan ini karena dianggap membuang-buang waktu. Padahal, jika menggunakan strategi yang tepat, kita bisa meningkatkan minat baca.

Menurut Ketua Forum Taman Bacaan Masyarakat se-Jawa Timur Dwi Astutik, strategi menumbuhkan minat baca dimulai dari diri sendiri. Dwi mencontohkan, sebagai seorang ibu, dia harus menjadi contoh bagi anak-anaknya agar terbiasa membaca buku sejak dini.

Selain memulai kebiasaan membaca dari lingkungan keluarga, Dwi juga menumbuhkan minat baca di lingkungan sekolah. Misalnya, dia menyiasati agar para siswa gemar membaca dengan meletakkan buku-buku di beberapa sudut sekolah. Menurutnya, membaca juga bisa dilakukan di mana pun dan kapan pun.

"Membaca buku itu ibarat senikmat minum susu," ujar Dwi saat ditemui Okezone pada Festival Taman Bacaan Masyarakat di Kemendikbud, Kamis (1/11/2012).

Dwi menjelaskan, buku harus diperkenalkan sejak usia dini kepada anak-anak dengan cara yang menarik. Orangtua bisa memperkenalkan buku melalui tulisan-tulisan bergambar atau dengan bernyanyi. "Banyak cara yang bisa kita lakukan untuk menarik minat baca anak," imbuhnya.

Wanita berjilbab ini juga berharap, seluruh kota di Indonesia dapat terinspirasi untuk membuat Taman Bacaan Masyarakat. Sebab, Taman Bacaan Masyarakat merupakan salah satu upaya mempercepat kecerdasan bangsa, khususnya dalam program pemberantasan buta aksara.

"Saya yakin jika semuanya serius, bangsa ini bisa menjadi cerdas karena dibantu semua elemennya, termasuk Taman Bacaan Masyarakat yang ada di seluruh wilayah Indonesia," pungkas Dwi.(rfa)

Kamis, 17 Januari 2013

WAYANG KULIT KOLABORASI DIPATENKAN

SuaraMerdeka.com | 10 Juni 2012 | 16:27 WIB
KOLABORASI: Mengawali pentas wayang kulit kolaborasi, putri Pak Harto Titik Hediati (kiri) berkenan menyerahkan tokoh wayang Semar kepada Begug Poernomosidi (kanan). (suaramerdeka.com/ Bambang Purnomo)
WONOGIRI, suaramerdeka.com - Wayang kulit kolaborasi, yang dipadukan dengan wayang orang, tari-tarian, lawak, kesenian reog dan musik campursari serta dangdut, dipatenkan sebagai karya seni Kanjeng Pangeran Adipati Anom (KGPAA) Candra Kusuma Sura Agul-agul Begug Poernomosidi.
''Itu sudah saya patenkan, dan menjadi sajian seni untuk masyarakat dalam dan luar negeri,'' tegas Begug.
Penegasannya ini, disampaikan Jumat (8/6) malam, ketika menyampaikan sambutan pada upacara haul Pak Harto, yang dimeriahkan dengan pagelaran wayang kolaborasi. Acara wayang kolaborasi semalam suntuk ini, dipentaskan di Monumen Ibu Tien Soeharto, Jaten Kabupaten Karanganyar, kilometer 12 Solo-Karanganyar.

Malam itu, digelar lakon Mbangun Candi Sapto Argo yang dimainkan lima dalang. Yakni, Ki Widodo Wilis, Ki Eko Sunarsono, Mbah Bagong, Ki Sigit Endrat dan Ki Bodronoyo Begug Poernomosidi. Pagelaran wayang kolaborasi ini, dipadukan dengan sajian tari tradisional Jawa ''Bedaya Parang Kencana,'' fragmen wayang orang, kesenian reog Ponorogo, lawak dan musik campursari. Dalam pagelaran tersebut, tampil sebanyak 25 waranggana, termasuk pesindhen pria Prasetya.

Rumah pendapa Monumen Ibu Tien Soeharto di Jaten Karanganyar, terasa sempit untuk pagelaran wayang kolaborasi yang terkesan sebagai karya seni yang megah tersebut. Mengawali pentas, keluarga Cendana yang diwakili Titik Hediati Soeharto, berkenan menyerahkan tokoh wayang Semar Bodronoyo kepada KGPAA Candra Kusuma Sura Agul-Agul Begug Poernomosidi.

Semar, dikenal sebagai tokoh panakawan jelmaan dewa, yang juga memiliki sebutan Ki Sampurnajati, yang legendaris dan kaya mitos. Usai tokoh wayang diserahkan, para pengrawit langsung menyajikan nyanyian dari Sabang Sampai Merauke dengan iringan instrumen gamelan. Syair lagu perjuangan karya R Sunaryo ini, yang dibawakan bareng oleh paduan suara para waranggana. Baru kemudian disusul dengan nyanyian agamis Slawatan, sebelum masuk ke sajian inti pagelaran wayang kulit semalam suntuk.

Begug yang mantan Bupati Wonogiri dua periode ini, mengatakan, kiat menciptakan wayang kolaborasi menjadi tontonan dan sekaligus tuntunan serta tantangan, adalah merupakan upaya agar wayang kulit yang telah diakui dunia, sebagai budaya adiluhung bangsa Indonesia (setelah keris dan batik) ini, keberadaannya tetap lestari.

''Dengan memadukan kesenianan lain dalam sajian kolaborasi itu, tujuannya agar masyarakat penontonnya tidak jenuh atau bosan. Sekaligus ini sebagai sentuhan inovasi dalam penggarapan kesenian wayang,'' kata Begug. (Bambang Purnomo/CN27)

Selasa, 15 Januari 2013

Belajar Itu Seni Untuk Mengembangkan diri



Slamet Priyadi | Minggu, 14/01/2013 | 02:20:30’WIB
                  
Sayyid Quthb - Salah seorang ulama besar Islam
Sayyid Quthb
SELASA, 15 JANUARI 2013 - DENMAS PRIYADI SITE - Jika anda pernah membaca buku Ma’alim fit ath-Tharik, tulisan Sayyid Quthb yang terkenal itu, pasti anda pun akan berdecak kagum. Dalam bukunya beliau memaparkan kepada kita tentang bagaimana kehebatan, keluarbiasaan prilaku belajar dari para generasi sahabat Nabi Muhammad Rasulullah SAW. Sehingga dengan kehebatan dan keluarbiasaannya dalam prilaku belajar itu, mereka generasi pertama Islam mampu melakukan pembaharuan-pembaharuan dalam kemajuan peradaban dunia.  Dalam bukunya itu Sayyid Quthb lebit lanjut mengatakan,

“Kehebatan generasi sahabat bukan semata-mata karena di sana ada Rasulullah, sebab jika ini jawabannya berarti Islam tidak rahmatan lil’alamin. Kehebatan mereka terletak pada semangat mereka untuk belajar lalu secara maksimal berupaya mengamalkannya”.

Nah jika demikian, ini artinya prilaku proses belajar yang kita lakukan tidak berhenti hanya pada mempelajari sesuatu saja,  melainkan harus dibarengi pula dengan praktiknya, belajar untuk mengaplikasikannya. Dengan begitu kita memperoleh jawaban atas adanya fakta social yang kontradiktif antara pengetahuan yang dimiliki dengan sketsa pikir dan sikap prilaku dalam keseharian kita.

Dari generasi pertama Islam, generasi sahabat Rasulullah yang sangat mengedepankan prilaku belajar itu telah memberikan pandangan kepada kita tentang “learning how to think”, belajar bagaimana untuk memahami. Mereka sangat haus akan pengetahuan, dan semangat mereka untuk mempelajari sesuatu dan belajar tentang sesuatu tidak mengenal kata selesai. Ya, belajar itu sepanjang hayat. Selain itu, mereka juga memberi contoh teladan kepada kita agar “learning how to do”, belajar bagaimana untuk melakukan dan mempraktikkan ilmu yang sudah didapat dalam prilaku belajar dalam keseharian kita secara nyata. Dan, semuanya itu harus pula   dilambari dengan prilaku religius. Artinya, dari apa pun yang sudah kita pelajari harus mampu menjadi acuan dalam berpikir, berprilaku dan bersikap dalam keseharian kita. (transfer of learning)

Referensi
Dwi Budiyanto. 2009. “Prophetic Learning”. Yogyakarta: Pro-U Media.
Penulis
Slamet Priyadi

Kamis, 10 Januari 2013

Dehumanisasi Pendidikan



Kamis, 10 Januari 2013 

Ketika Kota Hiroshima dan Nagasaki luluh lantak oleh bom atom tentara sekutu pada Perang Dunia II, rasa-rasanya Jepang akan sulit untuk bangkit. Apalagi menjadi negara maju seperti sekarang. Namun kenyataan berkata lain. Jepang bersama dengan negara “little dragon” lainnya saat ini menjadi salah satu kiblat kemajuan teknologi dunia.

Kebangkitan Jepang itu ternyata tak lepas dari kebangkitan dunia pendidikan mereka. Karena tak ada satu bangsa pun di dunia ini yang bisa maju tanpa pendidikan. Itulah sebabnya Kaisar Jepang kala itu meminta untuk mengumpulkan guru-guru yang tersisa. Sang kaisar sadar betul bahwa dengan pendidikanlah Negara Matahari Terbit itu akan bangkit. Pendidikan dan peradaban adalah hubungan yang organik. Tak bisa dipisahkan antara satu dengan lainnya. Pendidikan maju otomatis peradaban akan maju.

Namun harus pula diingat, bahwa peradaban memiliki makna luas. Peradaban sendiri berasal dari kata “adab”. Kemajuan teknologi dan informasi hanyalah salah satu hasil dari pendidikan yang baik. Lebih dari itu, peradaban juga mencakup soal moral. Karena itu, pendidikan yang sukses bukan hanya dilihat dari gedung-gedung sekolah atau universitas yang besar, fasilitas lab yang lengkap, atau jumlah medali olimpiade yang didapat.

Jika hanya sebatas itu, dapat dibayangkan bagaimana hasilnya. Bukankah sudah banyak contoh koruptor yang jebolan dari universitas kenamaan. Bahkan ada yang bergelar doktor pula. Belum lagi tawuran pelajar yang sering terjadi seolah-olah menampar dunia pendidikan kita. Anak didik hanya tahu teori soal moral, tapi tak bisa mempraktikkannya dalam kehidupan. Kalau boleh diistilahkan, telah terjadi dehumanisasi pendidikan kita sehingga pendidikan yang diberikan hanya menyentuh aspek kognitif.

Fenomena inilah yang diistilahkan oleh teoritikus pendidikan asal Brazil, Paulo Freire (1921-1997), dengan Banking Concept of Education. Ciri utamanya adalah komunikasi bersifat antidialogis, guru mengajar-murid belajar, guru tahu segalanya-murid tidak tahu apa-apa, guru bicara-murid mendengarkan, guru adalah subjek proses belajar-murid objek belajar. Pendidikan kehilangan nilai-nilai humanisme. Semua orang hanya menjejali isi kepalanya dengan pengetahuan-pengetahuan baru. Tak peduli pengetahuan itu berguna atau tidak bagi dirinya. Celakanya jika pengetahuan itu digunakan untuk menyengsarakan orang lain.
Terdapat jurang pembeda antara mendidik dan mengajar. Jika mengajar hanya mentrasfer ilmu, tapi pendidikan lebih dari itu. Memanusiakan manusia secara manusiawi.

Kegagalan terbesar dari sistem pendidikan kita bukan terletak pada masalah lemahnya pendidikan mencerdaskan rakyat. Tapi pada masalah ketidakmampuan pendidikan menyadarkan rakyat terhadap permasalahan hidup yang nyata. Tak heran peserta didik “kaget” dengan kehidupan nyata usai mereka menempuh pendidikan.

Sejatinya banyak faktor yang memengaruhi pendidikan. Namun faktor utama suksesnya pendidikan adalah keteladanan dari pendidik sendiri. Itu yang dirasa kurang dalam pendidikan kita saat ini. Apa yang disampaikan pada murid akan lebih “terasa” jika guru atau dosen lebih dulu mempraktikkannya. Tak hanya sekadar teori. Tenaga pendidik menjadi “teori yang hidup” di tengah-tengah mereka. (Kiram Akbar)


Top of Form
Thursday, January 10, 2013
Dehumanization of Education

When the City of Hiroshima and Nagasaki atomic bomb devastated by allied forces during World War II, Japanese flavor-it would be hard to bounce. Moreover, to be developed as it is now. But reality says otherwise. Japan along with the "little dragon" more now become one of the world mecca of technological advances.

The rise of Japan it was not separated from the rise of their education. Since no single nation in the world that can progress without education. That is why the Emperor of Japan at that time asked to collect the remaining teachers. The emperor was well aware that the education is the Rising Sun Country will rise. Education and civilization is an organic relationship. Can not be separated from one another. Education advanced civilization will advance automatically.

But it must be remembered that civilization has a broad meaning. Civilization itself is derived from the word "etiquette". Advances in technology and information is just one result of a good education. Moreover, the civilization also includes morals. Therefore, a successful education is not only seen from the school buildings or a large university, a complete lab facilities, or the amount earned an Olympic medal.

If only to the extent that, one can imagine how it went. Are not there enough examples of criminals who graduated from famous universities. There is even a doctorate as well. Not to mention the frequent student brawls as if slapping our education. Protégé only know the theory about morality, but I can not put it into practice in life. If it be termed, there has been a dehumanization of our education so that education provided only touched cognitive aspects.

This phenomenon is termed by the Brazilian educational theorist, Paulo Freire (1921-1997), the Banking Concept of Education. Its main characteristic is the nature antidialogis communication, teacher-student learning teaching, teacher-student know everything do not know anything, listening to the teacher-student talk, the teacher is the subject of the learning process-student learning object. Education loses the values
​​of humanism. Everyone just stuffing his head with new knowledge. No matter knowledge is useful or not for him. Unfortunately if the knowledge was used to hurt other people.

There is a gap difference between educating and teaching. If the transfer of teaching only science, but education is more than that. Humanize humans humanely.

The biggest failure of our education system lies not in the lack of education issues to educate the people. But on the issue of disability awareness education of the people against real life problems. No wonder the students "shocked" to real life after their education. Indeed a lot of factors that affect education. But the main factor is the exemplary educational success of educators themselves. That's what is missing in our education today. What will be delivered to students "feel" if the teacher or lecturer first practice. Not just a theory. Educators a "theory of life" in their midst. (Kiram Akbar)


Amerika berhala di Ramanujan bertemu


Dengan R Gokul, TNN | Desember 16, 2012, 06:34 WIB

  Kumbakonam: Kumbakonam bukanlah desa kecil itu saat paling terkenal matematika India jenius Ramanujan berjalan jalan-jalan, hilang dalam pikiran teorema rumit. Tapi 125 tahun setelah ia lahir, bunga dalam karyanya terus, murid sejati membingungkan dari ilmu murni, menarik beberapa terang dunia seperti ketika pertama kali kejeniusannya bersinar melalui dunia.

Tahun ini, sebagai penghargaan Sastra-Ramanujan akan disajikan pada 22 Desember di sebuah fungsi yang diselenggarakan oleh Masyarakat matematika India di New Delhi, bintang pertunjukan akan Zhiwei Yun dari Pusat Penelitian Stanford University Matematika. Zhiwei sedang diakui untuk nya "kontribusi fundamental bagi beberapa daerah yang terletak pada antarmuka perwakilan teori, algebraic geometri dan teori bilangan," kata catatan Sastra.

Penghargaan Sastra-Universitas-dilembagakan, dibentuk pada tahun 2005 untuk mendorong matematikawan bawah 32 bekerja di daerah dipengaruhi oleh Ramanujan, membawa hadiah uang tunai sebesar $ 10.000. Ini bukan hanya Zhiwei yang berada di pusat banyak perhatian di Kumbakonam sekarang. Profesor George E Andrews, Richard Askey dan Bruce Berndt, tiga dari otak yang dikenal terbaik di bidang ini, ada untuk menjadi bagian dari apa yang mereka rasakan adalah tanggal penting yang bisa dilakukan keadilan hanya dengan ziarah ke tempat kelahiran Srinivasa Ramanujan .

Dalam Kumbakonam menerima DSc (honoris causa) derajat diberikan oleh Sastra Universitas, sebuah universitas dianggap baik swasta berkantor pusat di Tamil Nadu, tiga matematikawan sudah bertahun-tahun bekerja pada teorema bahwa matematikawan India diproduksi di kehidupan yang singkat dari 32 tahun.

Yang terkenal 'notebook' dari Ramanujan, mereka mengatakan, terus memiliki relevansi tidak hanya untuk pekerjaan teoritis tetapi untuk penampang-daerah penelitian termasuk ilmu komputer.

Tiga matematikawan terkenal yang telah bekerja pada teorema Srinivasa Ramanujan yang diberikan D Sc (honoris causa) oleh SASTRA Universitas di Kumbakonam, tempat kelahiran jenius mathamatics kabupaten di Thanjavur, pada hari kedua konferensi twoday diselenggarakan untuk menandai kelahiran 125th nya ulang tahun.

Derajat diserahkan kepada George E Andrews of Pennsylvania State University, Amerika Serikat, Richard A Ashkey dari University of Wisconsin, Madison, Amerika Serikat dan Bruce C Berndt dari University of Illinois, Amerika Serikat, oleh L Rajagopalan, seorang 93 tahun guru matematika dari Kumbakonam. Dua studi tentang matematika terkenal juga dirilis selama konferensi.

Sejumlah besar sarjana dari India dan luar negeri menghadiri konferensi di Srinivasa Ramanujan luar kampus pusat SASTRA di Kumbakonam Jumat. Andrews berterima kasih universitas untuk menghormati dia sementara Ashkey, yang bekerja pada polinomial terkenal, mengatakan buku-buku tentang Ramanujan harus menjadi bagian dari setiap perpustakaan untuk menginspirasi generasi muda untuk mengambil penelitian tentang karya-karyanya.

Orang ketiga yang harus dihormati, Berndt, adalah kewenangan pada nomor teori dan telah menerbitkan biografi Ramanujan. Ia mengatakan ia menganggap dirinya beruntung untuk menerima penghargaan dalam memori matematika.

Rajagopalan teringat bahwa Ramanujan bisa memecahkan masalah diajarkan kepada siswa tingkat akhir tahun bahkan ketika ia berada di kelas 8. Memori dan warisan jenius harus menginspirasi anak muda lebih untuk belajar matematika, Rajagopalan menambahkan.

Dua buku oleh terkenal matematika dan Ramanujan sarjana, Alladi Krishnaswamy dari University of Florida, AS, 'Tempat Ramanujan Dalam The World Of Matematika', dan 'Volume Khusus Dari Journal Ramanujan' Borwein diedit oleh Krishnaswamy, George Andrews dan Jonathan juga dirilis pada hari Sabtu. Sejumlah besar sarjana, peneliti dan mahasiswa menghadiri kuliah yang diadakan selama dua hari pada karya-karya Ramanujan. Ia juga mengumumkan bahwa SASTRA-Ramanujan Penghargaan tahun ini akan disajikan pada 22 Desember di sebuah fungsi yang diselenggarakan oleh Masyarakat matematika India di New Delhi. Penghargaan ini akan diberikan kepada Zhiwei Yun dari Pusat Penelitian Stanford University Matematika. Dilembagakan pada tahun 2005, setiap tahun diberikan kepada matematikawan di bawah usia 32, yang bekerja di daerah dipengaruhi oleh Ramanujan.

Para genius matematika telah meninggal pada usia 32. Zhiwei sedang dihormati karena "kontribusi fundamental bagi beberapa daerah yang terletak pada antarmuka perwakilan teori, algebraic geometri dan teori bilangan," kata seorang juru bicara SASTRA.