Internal changes theatrical tradition
Prof. Dr. Edi Sedyawati |
SUNDAY, DECEMBER 26, 2011 - DENMAS PRIYADI BLOG : Theatre has different properties when compared with the dance and music. Dance and music an entirely non-verbal in the context of tradition usually serves as a decoration of the ceremony or part of the ceremony itself. The style and intensity is the weight it bears. As for the theater that has elements of verbal and non verbal, in addition to containing the style and intensity of expression, it also contains the function as a medium of reflection. Of course life is not all responses delivered as a sermon, but he implied in a groove, sanggit (fictitious play) and the depiction of character.
Theatre has some technical elements such as plot, literature, dialogue, style of conduct, and order form. In the theatrical tradition of these elements have certain patterns. In addition, theatrical traditions also often have certain conventions about section (pembabakan) place, time and situation. Changes or developments in the form of theatrical tradition is the change in the elements, which do not need the same fast pace. For example samanda East Kalimantan: dialogue and style of behavior change, but the convention section retained, for example, started the play with song introductions such as the so-called theater mamanda baladon in South Kalimantan and berladun the theater supportive of Riau.
The content of a form of theatrical literary tradition is still determined by whether or not internalized by the local literary community. The wealth of ornamental language arts (such as imagery, like, proverbs, wangsalan, parikan, word games that have different meanings) when controlled by the perpetrators or mastermind (if any) is of great significance in terms of adding tasty spectacle. Mastery of language or dialect of this region can be more and more reduced, caused by the use of Indonesian pressure which is increasingly widespread. Similarly, verbal language arts skills can be waning, as opposed to the current progress of visual communication.
A more decisive element in the theatrical tradition is a style of behavior, namely how the roles performed. Realist theater that so deeply impact on the world of film that has been so widespread, demand accounted for on the basis of every role possible in reality. Thus, each role should be viewed as something unique that has a unique background. Unlike the case with the characterization in the theatrical tradition in general, where each role is a manifestation of a certain stereotype temperaments. And every character stereotype that demands clarity of expression through a specific behavior patterns of style: how movement, manner and tone, and the way her makeup. But the tightness of this pattern of behavior styles in various forms of theater is not the same tradition. In the theatrical forms that are less stringent, costumes and songs can be easily influenced by such films. Being in the forms of theater that is more stringent, the overall style of behavior, it can also change slowly due to changes in the interpretation of a role. Changes in interpretation of these roles more so will be realized through sanggit.
Story line in the theater tradition pembabakan usually controlled by a specific pattern: there are scenes of the opening and closing, there is a sequence of rounds that have been determined, there are parts penyeling scene. Pembabakan pattern can be changed internally for example due to the changing demands of the desired length of a spectacle. Thus the rounds there may be shortened or eliminated. Changes to this pembabakan pattern can also occur due to saturation of the parties singers. So they do the execution. This is often done by Ki Narto Sabdo example, a Javanese puppet puppeteer, who deliberately and fairly "announcement" featuring puppet characters skin on rounds that are not "in place"; He also frequently change the atmosphere of that particular round so not "as usual". The changes in the pattern of this pembabakan had also experienced by ludruk of East Java. And in a great neighborhood also experienced during the development of other forms of theatrical tradition serahim, the merry-go-nobles supported it, dermuluk, and mamanda. Because the idea of spectacle is spread to various arreas, then in each new place he had to adjust
to the demands of local tastes. (Reference: GROWTH ART SHOW / Edi Sedyawati / Rays hope th. 2000)
NOTE:
1) Traditional Theatre Week 1977, featuring: ketoprak ongkek (Yogya), ubruk (West Java), mamanda (South Kalimantan), supportive (Riau) and mask prembom (Bali).
2) In 1980, the adjacent two occasions, namely the Comparative Study of Theatre speak on 2-3 November and the People's Performing Arts Festival on December 10 to 14, has shown:
1) Traditional Theatre Week 1977, featuring: ketoprak ongkek (Yogya), ubruk (West Java), mamanda (South Kalimantan), supportive (Riau) and mask prembom (Bali).
2) In 1980, the adjacent two occasions, namely the Comparative Study of Theatre speak on 2-3 November and the People's Performing Arts Festival on December 10 to 14, has shown:
a) Seven forms of theatrical tradition, namely:
Ketoprak ongkek (Yogya), makyong (Riau), ludruk made (East Java), dulmuluk (South Sumatra), supportive(West Kalimantan), puppet gong (South Kalimantan), Sandiman / theatrical mamanda (East Kalimantan), and Cupak-Grantang (Lombok) and Anggun Nan Tongga (Minang) which are both referred to as ballet.
b) Six-spoken art form, namely: plash (Lombok), cekepung (Bali), sinrili (South Sulawesi), puppeteer jemblung (Central Java), templing / kentrung (East Java) and warahan (Lampung).
b) Six-spoken art form, namely: plash (Lombok), cekepung (Bali), sinrili (South Sulawesi), puppeteer jemblung (Central Java), templing / kentrung (East Java) and warahan (Lampung).
TERJEMAHAN
Perubahan internal teater tradisi
SENIN, 26 DESEMBER 2011 - DENMAS PRIYADI BLOG : Teater mempunyai perbedaan sifat jika dibandingkan dengan tari dan musik. Tari dan music yang sama sekali non verbal itu dalam konteks tradisi biasanya berfungsi sebagai hiasan dari upacara atau bagian dari upacara itu sendiri. Gaya dan intensitas adalah bobot yang disandangnya. Adapun teater yang mempunyai unsur verbal maupun non verbal itu, di samping mengandung nilai gaya dan intensitas ekspresi, juga mengandung fungsi sebagai media refleksi. Sudah tentu segala tanggapan hidup itu tidak disampaikan seperti khotbah, melainkan ia tersirat dalam alur, sanggit (rekaan lakon) dan penggambaran watak.
Teater mempunyai beberapa unsur teknik seperti: alur cerita, sastra, dialog, gaya laku, dan tata rupa. Pada teater tradisi unsur-unsur ini mempunyai pola-pola tertentu. Di samping itu teater tradisi juga sering mempunyai konvensi-konvensi tertentu mengenai pembabakan tempat, waktu dan situasi. Perubahan atau perkembangan bentuk dalam teater tradisi merupakan perubahan pada unsur-unsur tersebut, yang tidak perlu sama cepat lajunya. Misalnya samanda Kalimantan Timur: dialog dan gaya laku berubah, tetapi konvensi pembabakan tetap dipegang, misalnya mengawali lakon dengan nyanyian perkenalan seperti yang disebut baladon pada teater mamanda Kalimantan Selatan dan berladun pada teater mendu dari Riau.
Kandungan sastra dari suatu bentuk teater tradisi ditentukan oleh masih dihayati atau tidaknya sastra daerah oleh masyarakat. Kekayaan seni hias bahasa (seperti tamsil, ibarat, peribahasa, wangsalan, parikan, permainan kata yang mempunyai berbagai arti) apabila dikuasai oleh para pelaku ataupun dalangnya (kalau ada) sangatlah besar artinya dalam menambah sedapnya tontonan. Penguasaan bahasa atau logat daerah ini bisa semakin lama semakin berkurang, disebabkan oleh desakan penggunaan bahasa Indonesia yang kian meluas. Demikian pula kemampuan seni berbahasa lisan bisa semakin menyusut, sebagai arus lawan dari majunya komunikasi visual.
Suatu unsur yang lebih menentukan dalam teater tradisi adalah gaya laku, yaitu bagaimana cara peran-peran dibawakan. Teater realis yang begitu dalam pengaruhnya pada dunia film yang telah demikian tersebar luas, menuntut setiap peran dipertanggungjawabkan atas dasar kemungkinan dalam realitas. Dengan demikian setiap peran harus dipandang sebagai sesuatu yang unik yang mempunyai latar belakang khas. Beda halnya dengan pemeranan dalam teater tradisi pada umumnya, di mana setiap peran adalah perwujudan dari watak-watak stereotip tertentu. Dan setiap watak stereotip itu menuntut kejelasan ungkapan melalui pola gaya laku tertentu: cara bergeraknya, cara dan nada bicaranya, dan cara dandanannya. Namun keketatan pola gaya laku ini pada berbagai bentuk teater tradisi tidaklah sama. Pada bentuk-bentuk teater yang kurang ketat, kostum dan nyanyian bisa mudah sekali mendapat pengaruh dari film misalnya. Sedang pada bentuk-bentuk teater yang lebih ketat, keseluruhan gaya laku itu dapat pula berubah pelan-pelan karena perubahan interpretasi atas suatu peran. Perubahan interpretasi atas peran-peran ini lebih-lebih lagi akan terwujud melalui sanggit.
Alur cerita dalam teater tradisi biasanya dikuasai oleh pola pembabakan tertentu: ada adegan-adegan pembukaan dan penutupan, ada urutan babak yang telah ditentukan, ada bagian-bagian penyeling adegan. Pola pembabakan ini dapat berubah secara internal misalnya disebabkan oleh perubahan tuntutan mengenai lamanya suatu tontonan dikehendaki. Dengan demikian babak-babak mungkin ada yang dipersingkat atau dihilangkan. Perubahan atas pola pembabakan ini bisa juga terjadi karena kejenuhan dari para pihak penyanyi. Maka mereka pun melakukan eksekusi. Hal ini sering dilakukan oleh misalnya Ki Narto Sabdo, seorang dalang wayang kulit Jawa, yang dengan sengaja dan cukup “pengumuman” menampilkan tokoh-tokoh wayang kulitnya pada babak-babak yang tidak “pada tempatnya”; Ia pun sering mengubah suasana babak tertentu sehingga jadi tidak “seperti biasanya”. Perubahan-perubahan dalam pola pembabakan ini pernah pula dialami oleh ludruk dari Jawa Timur. Dan dalam lingkungan besar dialami pula sepanjang perkembangan bentuk-bentuk teater tradisi yang serahim, yaitu komidi bangsawan mendu, dermuluk, dan mamanda. Karena ide tontonan ini tersebar ke berbagai daerah, maka di tiap tempat baru itu ia menyesuaikan diri dengan tuntutan selera setempat. (Referensi: PERTUMBUHAN SENI PERTUNJUKAN/Edi Sedyawati/Sinar Harapan th. 2000)
CATATAN :
1) Pekan Teater Tradisional tahun 1977 menampilkan: ketoprak ongkek (Yogya), ubruk (Jawa Barat), mamanda (Kalimantan Selatan), mendu (Riau) dan topeng prembom (Bali).
2) Pada tahun 1980, dalam dua kesempatan yang berdekatan, yaitu Studi Perbandingan Teater Bertutur tanggal 2 – 3 Nopember dan Festival Seni Pertunjukan Rakyat tanggal 10 – 14 Desember, telah ditampilkan:
a) Tujuh bentuk teater tradisi, yaitu: ketoprak ongkek (Yoya), makyong (Riau), ludruk besutan (Jawa Timur), dulmuluk (Sumatera Selatan), mendu (Kalimantan Barat), wayang gong (Kalimantan Selatan), sandiman/sandiwara mamanda (Kalimantan Timur), serta Cupak-Grantang (Lombok) dan Anggun Nan Tongga (Minang) yang keduanya disebut dengan istilah sendratari.
b) Enam bentuk seni bertutur, yaitu: cepung (Lombok), cekepung (Bali), sinrili (Sulawesi Selatan), dalang jemblung (Jawa Tengah), templing/kentrung (Jawa Timur) dan warahan (Lampung)
@ Kandungan sastra dari suatu bentuk teater tradisi ditentukan oleh masih dihayati atau tidaknya sastra daerah oleh masyarakat.
BalasHapus