Guru SMPIT Annur Cimande Menulis
Jumat, 10 Agustus 2018 - 09:51 WIB
Jumat, 10 Agustus 2018 - 09:51 WIB
Albert Camus :
SENI DAN PEMBERONTAKAN I
Seni, seperti
pemberontakan, adalah sebuah gerakan yang pada waktu bersamaan bersifat
mengagungkan, sekaligus mengingkari. ”Tidak sorang pun seniman dapat menerima
kenyataan,” kata Nietzsche. Ini benar; tetapi juga tidak seorang pun seniman
dapat hidup di luar kenyataan. Kreasi seni adalah kehendak kesatuan dengan, dan
suatu penolakan terhadap, dunia. Ia menolak dunia karena hal-hal yang tidak ada
padanya, dan atas nama hal-hal yang, kadang-kadang, ada padanya. Pemberontakan
dapat ditemukan pada seni dalam keadaannya yang murni, dalam komposisi
primitifnya, di luar sejarah. Karena itulah seni dapat memberi kita perspektif
ke dalam isi pemberontakan. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa permusuhan
terhadap seni juga diperlihatkan oleh semua pembaharu revolusioner. Plato masih
moderat dalam hal ini. Dia hanya mengutuk fungsi bahasa yang menyesatkan dan
menyingkirkan para penyair dari Republiknya.
Di luar itu dia melihat keindahan
dunia ada di mana-mana. Sedangkan gerakan-gerakan revolusioner modern datang
bertepatan dengan berlangsungnya suatu proses “pengadilan” terhadap seni, dan
proses ini masih terus berlanjut. Kita lihat reformasi lebih memilih moralitas
dan membuang keindahan. Rousscau mengecam seni sebagai racun yang dituangkan
kepada alam oleh masyarakat. Saint-Just berteriak menghujat teater dan dalam
sebuah program yang dirancangnya untuk “pesta Akal”; dia menggambarkan akal
dengan figur seorang wanita yang “cerdik bukannya cantik”. Revolusi Prancis
tidak melahirkan seorang pun seniman; dan hanya melahirkan seorang jurnalis besar,
Desmoulins, dan seorang penulis bawah tanah, Marquis de Sade. Satu-satunya
penyair waktu itu (Andre’ Chernier) di penggal lehernya oleh Revolusi.
Satu-satunya prosais besar (Chateaubriand) yang dibuang ke London menjadi
pendakwah Kristen. Tidak lama kemudian, para pengikut Saint-Simon menuntut
adanya kesenian yang “bermanfaat sosial”. “Seni untuk kemajuan” bergema di
mana-mana selama akhir abad itu dan dikibarkan oleh Hugo, walau dia tidak
berhasil mempropagandakannya dengan meyakinkan. Hanya Valle yang mampu
menyiramkan kata-kata bernada kutukan terhadap seni yang terhadap seni yang
terdengar otentik.
Demikian juga nada
yang dilantunkan oleh kaum Nihilis rusia. Pisarev menyatakan bahwa nilai-nilai
artistik itu dekaden (bejat) dan sebaliknya memuji nilai-nilai pragmatik. “Saya
lebih senang menjadi tukang sepatu ketimbang Raphaelnya Rusia.” Bagi dia
sepasang sepatu lebih berguna ketimbang Shakespeare. Si nihilis, Nekrassov,
seorang penyair besar yang muram, menyatakan bahwa dia lebih menyukai sepotong
keju ketimbang Pushkin. Pengucilan terhadap seni oleh Trotsky juga terdengar di
mana-mana. Rusia yang telah mengalami revolusii akhirnya membelakangi
patung-patung marmer Apollo dan Venus, dengan kilauan cahaya matahari Italia,
yang oleh Tsar Peter Agung dipasang di
taman musim panas istana St. Petersburg. Demikianlah, kadang-kadang
kesengsaraan membuat orang-orang membuang muka melihat gambaran-gambaran indah
lambang kebahagiaan yang bagi mereka terasa menyakitkan.
Ideologi orang-orang
Jerman juga tidak kurang kejamnya dalam mencerca seni. Menurut para penafsir
revolusioner karya Hegel Phenomenology, tidak
ada seni dalam masyarakat yang adil. Keindahan hanya dapat dijalani, tidak
hanya dibayangkan. Yang nyata, yang sepenuhnya nalar, sudah cukup untuk
memuaskan semua nafsu. Seni bukanlah untuk segala zaman; sebaliknya seni
dipengaruhi oleh zamannya, dan yang menurut Marx, mengekspresikan nilai-nilai
previlase kelas yang yang berkuasa. Hanya ada satu seni revolusioner, yaitu
seni yang mengabdi kepada revolusi. Dengan menciptakan keindahan di luar
sejarah maka seni telah menghalangi satu-satunya karya yang mungkin secara
rasional, yaitu mentransformasikan sejarah menjadi suatu keindahan mutlak.
Tukang sepatu Rusia, begitu dia menyadari peran revolusionernya, adalah
pencipta keindahan Raphael hanya menciptakan keindahan sesaat yang tidak akan
dapat dimengerti oleh kemanusiaan yang baru.
Marx memang sempat
bertanya bagaimana keindahan bangsa Yunani masih terasa indah bagi kita. Dan
dia menjawab bahwa itu terjadi karena keindahan ini mengekspresikan kekanakan
dari dunia yang masih naif, dan kita, dalam proses kedewasaan, memiliki
kerinduan kepada masa kanak-kanak itu. Tetapi, karya-karya besar zaman
Renaisans, Remrandt, seni bangsa cina bagaimana semua itu masih terasa indah?
Tidak jadi soal! Kutukan terhadap seni sudah menggelinding, dan bahkan juga
diikuti secara memalukan oleh para seniman dan intelektual, yang terseret oleh
arus kejahatan seni dan intelek mereka. Dalam pertarungan antara tukang sepatu
melawan Shakespeare, bukanlah si tukang sepatu yang menodai Shakespeare dan
keindahan; melainkan mereka yang terus membaca Shakespeare dan bukan membuat
sepatu lagipula mana dapat mereka membuat sepatu. Para seniman zaman kita ini
mirip dengan para bangsawan Rusia abad kesembilan belas yang penuh penyesalan;
mereka beralibi bahwa dorongan nurani telah menjadi sumber kejahatan-kejahatan
mereka. Tetapi seniman sama skali tidak boleh menyesal setelah menyelesaikan
karya seninya. Bukan sekedar karena kerendahan hati yang memang diperlukan,
tetapi karena betul-betul mereka yakini, bahwa keindahan itu berada di akhir
zaman, dan sementara menanti datangnya, berarti telah merampas santapan rohani
ini dari dunia dan tukang sepatu yang sebenarnya patut memperoehnya sekarang
juga.
Namun, kegilaan
sketis seperti ini memiliki alasan yang menarik perhatian kita. Pada dataran
estetik, asketisme ini menjelaskan adanya pergulatan antara revolusi dan
pemberontakan. Dalam setiap pemberontakan, terlihat tuntutan metafisik bagi
adanya suatu kesatuan, ketidakmungkinan memperoleh kesatuan tersebut, dan
perlunya diciptakan sesuatu sebagai penggantinya. Ini sekaligus juga
mendefinisikan seni. Karena sebenarnya urgensi pemberontakan itu sebagian
bersifat estetik. Semua pemikiran yang diilhami oleh semangat pemberontakan,
selalu disinari oleh suatu retorika atau berada dalam sebuah semesta yang
tertutup. Benteng retorika dalam Lucretius, kloster-kloster dan istana-istana
terkunci dari sade, pulau terpencil yang romantik, ketingian-ketingin yang
menyendiri dari Nietzsche; lautan elemental dari Lautre’amont, istana-istana
mengerikan yang dilahirkan kembali di antara kaum Surealis, yang dihantam oleh
taufan bunga-bunga; penjara, bangsa yang terisolasi dalam dirinya; kamp
konentrasi, dengan dominasi para mandor budak semua ini dengan caranya
sendiri-sendiri menunjukkan adanya kebutuhan yang sama akan koherensi dan
kesatuan. Hanya dalam dunia-dunia yang tertutup inilah, akhirnya, manusia dapat
memiliki pengetahuan dan berkuasa.
Gerakan tersebut
tidak lain adalah seni itu sendiri. Seniman mengolah kembali dunia sesuai
dengan seleranya, sementara simfoni-simfoni alam tidak pernah berhenti. Dunia
tidak pernah senyap; kebisuannya terus-menerus mengulangi nada yang sama, dalam
getaran-getaran yang luput dari perhatian kita. Sedangkan nada-nada yang kita
dengar adalah bunyi-bunyi yang, karena jarang selaras, sama sekali bukan sebuah
melodi. Namun, musik itu benar-benar ada, di mana simfoni berlangsung sampai
akhir dan melodi memberikan bentuknya kepada bunyi-bunyi yang dalam dirinya
sendiri, tidak berbentuk; di mana susunan nada-nada , akhirnya, memunculkan
dari kekacauan alam suatu paduan yang memuakkan hati dan jiwa.
“Saya semakin yakin,”
tulis Van Gogh, “bahwa kita tidak boleh menilai Tuhan berdasarkan dunia
ini. Dunia ini adalah hasil karya lukis-Nya yang tidak berhasil.” Setiap seniman
mencoba memperbaiki lukisan tersebut dan memberinya gaya yang tidak didapati di
dalamnya. Seni yang paling besar dan paling ambisius dari semua seni, yaitu
seni patung, mati-matian berusaha menggambarkan figur manusia yang selalu
berubah-ubah dalam bentuk tiga dimensi untuk mengatur ketidakteraturan
gerak-gerik menjadi satu kesatuan gaya yang agung. Seni patung tidak menolak
imitasi, yang justru diperlukannya. Tetapi, imitasi bukanlah pencarian
utamanya. Yang dicari oleh seni ini, dalam zaman-zaman emasnya, adalah suatu
gerak-gerik, ekspresi atau penglihatan tipikal yang akan mengekspresikan semua
gerak-gerik dan semua penglihatan di dunia. Tujuannya bukan untuk meniru
melainkan memberinya gaya, dan menangkap gejolak tubuh yang selintas atau
keluwesan sikap-sikap untuk diletakkan dalam sebuah ekspresi yang sarat makna.
Oleh karena itu, akan terbangunlah dengan tumpuan kehidupan kota yang
hiruk-pikuk, sebuah model atau tipe yang “ketidakbergerakannya” akan
memenangkan sementara keresahan manusia yang tak habis-habisnya. Si pencinta
yang ditampik cintanya kemudian akan dapat mengembara di antara Kore’-Kore’ Yunani
dan menangkap keindahan, pada tubuh dan wajah gadis-gadis tersebut, yang kalis
dari segala kerusakan.
Prisip
senilukis juga berbentuk suatu pilihan, “kejeniusan,” tulis Delacroix, “kalau
dilihat dari seni yang dihasilkannya, tidak lain adalah bakat dalammenggelelarisasi
dan memilih-milih.” Pelukis memisahkan obyek lukisannya sebagai jalan untuk
menyatu dengannya. Kemudian lanskap melintas sekejap, hilang dari ingatan atau
saling menumpuki. Inilah sebabnya, bagi pelukis lanskap atau pelukis benda, melukis
berarti mengisolasi dalam ruang dan waktu, makna dari benda-benda yang dalam
kehidupan nyata selalu berubah seiring seiring dengan berubahnya cahaya,
mengabur dalam perspektif tak terhingga atau hilang dalam timbunan nilai-nilai lain. Langkah pertama
dari pelukis lanskap adalah membuat berbagai bagian dari ukisannya selaras satu
samalainnya. Menghilangkan sebagian dan memilih sebagian lain. Melukis sebuah
obyek berarti mengisolasi, dalam waktu dan ruang, sebuah gerakan yang pada
kehidupan nyata lebur dalam gerakan lainnya. Pelukis membekukan gerakan-gerakan
tersebut. pencipta-pencipta besar adalah mereka yang seperti Piero della
Francesca, dapat menimbulkan kesan bahwa hentian-gerak ini baru saja terjadi,
bahwa beberapa saat yang lalu obyek ini masih bergerak; kemudian berhenti yang
(dalam film) seakan-akan kamera proyektornya berhenti berputar dengan tiba-tiba.
Semua hasil karya mereka itu mampu menimbukan kesan bahwa, melalui mukjizat
seni, obyek-obyek, obyek-obyek mereka itu tetap hidup dan tidak mati. Dalam
karya Rembrandt, filsuf dalam lukisan itu terus saja merenungi, antara cahaya
dan bayang, permasalahan yang sama, bahkan setelah dia meninggal.
“Lukisan
itu bagaikan benda kosong, yang menyenangkan karena kemiripannya dengan
benda-benda yang tidak dapat menyenangkan kita!” Delacroix, yang mengutip
pernyataan sohor Pascal di atas, memakai kata “aneh” bukannya kosong”, dan ini
cukup beralasan. Benda-benda ini tidak dapat menyenangkan kita karena kita
tidak mampu melihat mereka; benda-benda itu kabur dan lenyap dalam gerakan
terus-menerus. Siapa yang melihat kepada tangan pendeta yang sedang mendera,
atau pada pohon-pohon zaitun di jalan penyaliban? Padahal semua itu ada:
digambarkan, dibekukan dari gerakan penyiksaan yang tak terputus; dan kesedihan
kristus, dalam gambaran-gambaran kekerasan dan keindahan, terus
memanggil-manggil kita setiap hari di ruang-ruang museum yang dingin. Gaya
seorang pelukis merupakan pemanjangan terhadap alam dan sejarah; sebuah
kehadiran yang diletakkan pada benda-benda yang melintas lewat. Dengan
mudahnya, seni mewujudkan penyatuan antara yang khas dan yang umum sebagaimana
diimpikan Hegel. Barangkali inilah sebabnya zaman-zaman seperti yang sedang
kita lalui, yang terkagum-kagum oleh ide rentang kesatuan, menoleh kepada
seni-seni primitif dengan stilasi paling intens dan kesatuan paling merangsang.
Stilasi yang paling kuat selalu didapati pada awal dan akhir epos-epos
artistik; dan ini sekaligus menjelaskan kuatnya transportasi yang telah
merangsang semua lukisan modern, dalam gejolak kacau balau, untuk menampilkan
kehadiran dan kesatuan. Keluhan Van Gogh yang patut dikagumi adalah tangis
keputusasaan yang tegar dari semua seni; “Saya dapat saja membuang Tuhan, dalam
hidup maupun dalam lukisan. Tetapi saya, sebagai makhluk yang menderita, tidak
dapat berbuat apa pun tanpa sesuatu yang lebih besar dari saya sendiri, sesuatu
yang merupakan kehidupan saya, yaitu kekuatan untuk mencipta.”
Tetapi,
pemberontakan para seniman terhadap kenyataan dunia dan bagi kaum
revolusioner-totalitarian ini mencurigakan mengandung penegasan yang sama
seperti pada pemberontakan spontan kaum tertindas. Semangat revolusioner, yang
lahir dari penolakan total, secara instingtif merasa bahwa dalam seni terdapat
persetujuan maupun penolakan bahwa perenungan tampaknya lebih dipentingkan
ketimbang tindakan, keindahan lebih dipentingkan daripada keadilan, dan bahwa,
dalam hal tertentu, keindahan merupakan ketidakadilan tanpa akhir. Namun
demikian, tidak ada seni yang dapat eksis dalam suatu penolakan total. Seperti
juga semua pemikiran pasti membawa arti, bahkan pemikiran yang tanpa makna.
Karena itu, tidak ada seni yang tanpa makna (nonsens).
Orang dapat saja menerima pengutukan atas ketidakadilan tota dunia dan
menuntut suatu keadilan total yang dia hanya bisa menciptakannya. Tetapi, dia
tidak dapat mengatakan bahwa dunia itu secara total bersifat buruk. Untuk
menciptakan keindahan maka dia harus menolak kenyataan sekaligus mengagungkan
aspek-aspek tertentu yang ada padanya. Seni mempertanyakan kenyataan, tetapi
tidak menjauhinya. Nietzsche dapat menolak semua transendensi, baik moral
maupun ilahiah, dengan mengatakan ahwa transendensi seperti itu berarti percaya
kepada dunia dan kehidupan ini. Tetapi, bukan tidak mungkin terdapat suatu
transendensi hidup yang dijanjikan kepada kita oleh keindahan, yang dapat
membuat kita mencintai dunia kita yang terbatas dan sementara ini dan lebih
menyukainya dibandingkan dengan dunia yang lain. Dengan demikian seni membawa
kita kembali kepada asal-muasal
pemberontakan ketika ia mencoba memberi bentuk kepada nilai yang bergerak bebas
dalam suatu proses menjadi (becoming) yang
tana akhir; tetapi yang oleh seniman dirasakan dan dikehendaki untuk dilepaskan
dari aliran sejarah. Kita dapat menggambarkan hal ini dengan lebih jelas dengan
menelaah seni yang justru masuk ke dalam aliran sejarah dan memberinya gaya:
novel.
Dalam
hal ini memungkinkan bagi kita untuk membedakan antara sastra persetujuan (consent), yang kira-kira bersamaan
waktunya dengan abad-abad antik dan klasik, dari sastra penentangan (dissidence) yang dimulai pada masa
modern. Pada zamannya, dengan sedikit perkecualian, sastra persetujuan itu
tidak berkaitan dengan sejarah melainkan dengan fantasi (Theagena and Cbarides atau L’Astre’e).
Mereka berbentuk dongeng, bukannya novel. Sedangkan dalam sastra
penentangan, sebaliknya, novel sebagai suatu genre berkembang seiring dengan
gerakan kritisme dan revolusi, yang semakin kaya dan meluas sampai zaman kita
sekarang ini. Novel dilahirkan bersamaan dengan semangat pemberontakan, dan ia
menerjemahkan semangat itu pada tatanan estetika.
“Cerita
khayal yang ditulis dalam prosa,’ demikia Littre’ mengenai novel. Hanya itu
saja? Seorang kritikus Ktolik, Stanislas Fumet, menulis: “Seni, apa pun
tujuannya, dengan perasaan bersalah mencoba bersaing dengan Tuhan.” Memang
lebih tepat mengatakan bersaing dengan Tuhann sejauh menyangkut nlvel daripada
mengatakan bersaing dengan biro statistik. Thibaudet mengekspresikan gagasan
yang sama ketika dia berbicara tentang Balzacj : “Komedi manusia merupakan
tiruan dari Tuhan Bapa.” Upaya sastra besar tampaknya adalah menciptakan
semesta-semesta tertutup (closed universes) atau tipe-tipe swa sembada (self suffcient). Bangsa
Barat, dalam karya-karya besar mereka, tidak membatasi hanya sekedar melakukan dan mengulang kembali kehidupan
sehari-hari melainkan selalu berupaya menemukan dan menciptakan
gambaran-gambaran baru untuk dituangkan dalam kreasi mereka.
Bagaimanapun,
menulis dan membaca novel itu adalah perbuatan yang tidak biasa, dan bukan
tidak dapat dihindari, seseorang membuat sebuah cerita dengan menyusun kembali
fakta-fakta nyata. Jika ada pernyataan vulgar bahwa tindakan ini memberi
memberi kesemangan kepada penulis dan pembacanya, kita masih harus bertanya apa
perlunga mayoritas manusia memperoleh kesenangan dan minat dalam cerita-cerita
rekaan. Kritisi revolusioner mengutuk novel murni sebagai pelarian imajinasi
yang kurang kerjaan. Sedangkan bahasa sehari-hari pada akhirnya mencap berita
bohong dari jurnalis yang ceroboh sebagai “mirip novel”. Beberapa waktu lalu
orang masih terbiasa mengatakan bahwa gadis-gadis dalam novel-novel. Dengan
mengatakan ini orang mengerti bahwa gadis-gadis tersebut tidak hidup
berdasarkan kennyataan yang ada. Secara umum dunia novel dianggap terpisah dari
dunia nyata, dan bahwa dunia novel dalam memperindah dunia nyata, juga
mengkhianatinya. Cara paling sederhana dan umum menilai novel sebagai suatu
ekspresi adalah dengan memandangnya sebagai suatu pelarian. Dan inii sesuai
dengan penilaian kritisi revolusiner.
PUSTAKA
:
Alber
Casmus, dkk
“Seni,
Politik, Pemberontakan”
Penerjemah
: Hartono Hadikusumo
Penerbit : NARASI 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar