Rabu, 23 Mei 2018

“ILMU SIASAT PERANG DALAM KAKAWIN BHARATA-YUDHA” Oleh : Prof. Dr. R.M. Sucipto Wirjosuparto

Ki Slamet Blog - Forum Guru Seni Budaya
Rabu, 23 Mei 2018 - 20:15 WIB
 
Sri Kresna Ahli Siasat Perang
Pada waktu bangsa Indonesia mengadakan perlawanan terhadap penjajah Belanda dalam perang –perang kolonial, seperti pada waktu perlawanan Sultan Hasanuddin dari Makasar, Pangeran Mangkubumi (kelak bergelar Sultan Hamengku Buwana I), Perang Dipanegara, Perang Padri, Perang Aceh dan lain-lainnya melawan Belanda, siasat perang bangsa Indonesia telah mengejutkan pihak lawan, karena tidak disangka oleh pihak penjajahBelanda, bahwa bangsa Indonesia memiliki akal yang cerdas untuk menghadapi seranga musuh dalam pertempuran kecil, khususnya dalam perang gerilya 1), seperti  yang telah diuraikan oleh Jendral A.H. Nasution. dijelaskan nasution.  A.H.  NASUTION.  Sekalipun perang gerilya merupakan perang yang Hebat dan memeras otak dari pihak yang mengadakan gerilya, perang ini secara sendiri belum dapat memberi pukulan terakhir kepada musuh, karena kemenangan terakhir hanya bisa tercapai dengan tentara yang teratur dengan serangan-serangan yang berbentuk frontal dan perang kecil.

Karena perang melawan musuh itu dalam sejarah tidak hanya merupakan perang fisik-militer, akan tetapi juga merupakan perang diplomasi, politik, psychologis dan sosial-ekonomis, tibullah pertanyaan darimana gerangan bangsa Indonesia itu mempelajari siasat perang, apabila mereka itu dalam sejarah mengadakan perang frontal dan gerilya terhadap angkatan perang Belanda.  Dengan perkataan lain, disamping adanya faktor semangat menyala-nyala untuk mempertahankan setiap jengkal tanah dari serangan luar dari pihak manapun juga, pastilah bangsa Indonesia itu memiliki kitab-kitab mengenai siasat perang yang bersifat khusus atau terselip dalam beberapa kitab kesusasteraan.

Apabila dikatakan, bahwa kitab kesusasteraan itu menjadi dasar pengetahuan siasat perang, hal itu memang benar, karena pada zaman kuno belum ada lembaga pendidikan seperti pada waktu sekarang, segala macam pendidikan itu diambil dari isi kitab kesusasteraan yang diberi penafsiran sesuai dengan il,u yang diajarkan, seperti moralitas, ilmu negara, ilmu hukum, ilmu siasat perang dan sebagainya.  Sudah barang tentu, karena ajaran-ajaran tersebut tidak disusun secara sistematis, dibawah pimpinan seorang guru otak setiap pelajar pada waktu yang lampau dilatih berdasarkan atas kitab-kitab kesusasteraan mengenai sesuatu mata pelajaran dan mencari kesimpulan sendiri dan apa yang diajarkan.

Dari kesusasteraan Indonesia kuno ada beberapa bukti, bahwa Indonesia itu telah mengenal siasat perang.  Suatu pengertian siasat perang yang penting diketemukan dalam kitab kakawin Arjuna-wiwaha dari abad 11 dan kitab Nitisastra dari abad 14 dan sekitarnya, keduanya dalam bahasa Jawa kuno yang masing-masing memuat istilah sama-bheda-ddanndda .  pengertian siasat perang  dalam kesusateraan Jawa kuno itu diambil dari kesusateraan India, ialah dari kitab Arthasastra ciptaan Kauttilya dalam bahasa sansekerta, ialah kitab yang mengajarkan tentang pengetahuan politik, termasuk politik menghancurkan musuh.  Kitab ini rupanya menjadi kitab pegangan dalam lapangan ilmu politik yang dikerjakan oleh keluarga raja-raja Gupta yang pernah mempersatukan sebagian besar India.

Menurut ajaran sama-bedha-ddanndda dirumuskan, bahwa setiap kepala negara yang ingin membinasakan lawannya wajib mencari sekutu (sama) di antara negara-negara yang berhubungan baik.  Telah diperhitungkan, bahwa pada waktu perang dengan negara-negara lain, negara-negara yang telah terikat oleh ‘sama’ itu sedikitnya bersikap  netral, bahkan dapat diharapkan adanya sokongan dan bantuan dari negara-negara tersebur.  Siasat kedua dari ‘sama-bedha-ddanndda’, ialah siasat ‘bheda’ yang berarti memecah belah dan memerintah, yang kurang lebih sama dengan pengertian divide et impera.  Sebab apabila tujuan mengadu domba musuh itu telah tercapai, sampailah waktunya untuk mempraktekkan ‘ddanndda’ atau pukulan, ialah pukulan terakhir kepada musuh yang telah lemah itu.

Karena pengertian sama-bheda-ddanndda disebutkan dalam kitab kakawin Arjunna-wiwaha dan Nitisastra, dijelaskan bahwa siasat perang  sama-bheda-ddanndda itu dikenal dan dipelajari di Indonesia.  Dalam hubungan ini dapat dikatakan, bahwa pengetahuan penggunaan senjata perang itu disebut ‘dhanurweda’ (weda berarti pengetahuan, sedangkan dhanu berarti panah) dan merupakan sebagian dari pengetahuan perang.  Jalan untuk mencapai kemenangan dalam perang dapat diperoleh dengan mempelajari pengetehaun yang dalam kesusateraan Jawa baru disebut pengetahuan ‘jaya-kawijayan’, ialah pengetahuan untuk mendapat kemenangan perang.

Pengetahuan tentang perang dalam bentuk yang agak kongkrit diketemukan dalam beberapa kitab, di antaranya dalam kakawin Bharata-Yudda yang menyebutkan beberapa bentuk wyuha atau susunan tentara, kitab Nitisastra yang membicarakan cara untuk memilih seorang panglima, dan kitab Nagarakrertagama dari zaman Majapahit yang menguraikan bagaimana raja Hayam Wuruk itu mempertontonkan kepandaian tentaranya yang mendemonstrasikan segala macam ulah perang.  Dari berita-berita yang diketemukan dalam beberapa kitab kesusasteraan Jawa kuno dapat ditentukan dengan pasti, bahwa ilmu siasat perang itu telah dikenal, sedikitnya di daerah Jawa, Bali dan Lombok.

Sebaliknya di daerah lainnya di Indonesia juga diketahui bahwa ada beberapa kitab yang menunjukkan adanya beberapa pengertian, bahwa siasat perang itu telah dipelajari di Indonesia.  Di dalam kitab sejarah melayu disebutkan, bahwa pada menjelang malam direbutnya kota Malaka yang diserbu oleh angkatan perang Portugis sejumlah banyak perwira muda yang menginginkan supaya kitab Hikayat Mohammad Hanafiah itu dibacakan dengan tujuan untuk memberi semangat kepada mereka karena di dalam kitab Hikayat Mohammad Hanafiah itu banyak disebutkan tentang siasat perang.  Kitab lain dalam kesusasteraan Indonesia kuno yang juga memuat siasat perang, ialah kitab Hikayat Amir Hamzah.  Seperti diketahui, Amir Hamzah adalah paman Nabi Muhammad s.a.w. dan dalam usahanya ikut meluaskan agama Islam,  Amir Hamzah berperang dengan raja-raja di tanah Arab dan negara lainnya.  Seperti telah diketahui, cerita Hikayat Amir Hamzah yang tumbuh di Indonesia itu melalui kesusasteraan Persia.

Hikayat Amir Hamzah dalam bahasa Melayu itu sedemikian populernya, sehingga melalui Hikayat Amir Hamzah ini disadur suatu cerita baru dalam bahasa Jawa baru pada zaman Mataram Kartasura (kira-kira tahun 1700) dan  terkenal sebagai Serat Menak (Kartasura).  Karena pada waktu  meluasnya agama Islam itu cerita-cerita dari zaman pra-Islam itu agak terdesak, sebagai gantinya tumbuh cerita-cerita Islam yang berpangkal kepada kitab Menak, sehingga R.Ng. Jasadipura ikut menulis menulis cerita Menak dalam bahasa Jawa Baru.  Dengan ini mulai terkenallah tokoh Wong Agung Menak Jayengrana, ialah sebutan Amir Hamzah dalam bahasa Jawa dan pahlawan-pahlawan lainnya seperti Umarmaya, Lamdahur, Hirman, Kelan dan lain-lainnya.

Prabu Lamdahur Tokoh Wayang Menak
    
Disebabkan karena menyadur kakawin Bharata-Yudha menjadi Serat Braratayuda Jarwa, R. Ng. Jasadipura telah mengenal sejumlah banyak nama susunan tentara yang dipakai oleh keluarga Pandawa dan Kurawa, cerita Menak dalam bahasa Jawa baru itu ditambah dengan bagian-bagian yang berbentuk serangan secara frontal dan tahu bagaimana caranya menjebak musuh yang menurut cerita itu dilancarkan oleh pasukan-pasukan yang bersembunyi dan siasat ini sangat populer di antara rakyat biasa dengan istilah ‘baris pendem’.  Contoh-contoh lain dapat diambil dari ‘Babad Ganti’ yang mengisahkan perjuangan Mangkubumi yang dikemudian hari bergelar Hamenku Buwana I  melawan Belanda.  Kecuali disebutkan dalam Babad Ganti sendiri, bahwa Pangeran Mangku Bumi itu seorang ahli  siasat perang, kitab-kitab yang ditulis oleh orang-orang Belanda juga mengakui, bahwa Pangeran Mangku Bumi itu sungguh-sungguh seorang “strateeg”, seperti yang ditunjukkan dalam pertempuran yang terjadi di tepi sungai Bogowonto.

Contoh-contoh tentang keahlian bangsa Indonesia untuk berperang dapat ditambahkan lagi dengan mengambil tokoh ‘Pangeran Diponegoro’ yang menggoncangkan kedudukan Pemerintah kolonial Belanda.  Apabila pada waktu dikejar oleh tentara Belanda Pangeran diponegoro itu dapat menyelamatkan diri dengan jalan menceburkan diri ke dalam sungai Progo yang sedang tinggi airnya, tetapi dapat memilih bagian yang dangkal, sedangkan tentara Belanda masuk ke dalam sungai ini di bagian-bagian yang dalam, sehingga terpaksa berenang dengan kuda-kudanya sehingga tidak dapat mengejar  kuda yang dinaiki oleh Pangeran Diponegoro, ini disebabkan karena Pangeran Diponegoro mengenal setiap jengkal tanah yang dipergunakan sebagai ajang bertempur melawan Belanda.  Kemenangan ini juga disebabkan karena pasukan-pasukan Pangeran Diponegoro disuruh menyusun barisan pendem dan dapat menghalau serangan tentara Belanda yang mengejar Pangeran Diponegoro.

Bahwa bangsa Indonesia telah mengenal siasat perang yang juga dimiliki oleh negara-negara besar hal ini telah telah dibuktikan ketika  Sultan Agung bersama tentaranya menyerang benteng kota mengepung Batavia tahun 1628 dengan menggali parit-parit untuk mendekati obyek yang akan direbut dan hal tersebut tentunya telah mengejutkan para serdadu kompeni Belanda.  Berita lainnya yang menunjukkan, bahwa bangsa Indonesia pada abad 17 telah mempunyai organisasi ketentaraan yang disusun rapih dengan tujuan memudahkan pelaksanaan siasat perang disebutkan oleh Dr. De Helen, seorang utusan Belanda yang mengunjungi Karta, ibukota Mataram pada zaman Sultan Agung.  Dikatakan, bahwa apabila ‘gong’ yang ada di empat penjuru di kota ‘Karta’ dipukul, dalam waktu setengah hari dapat dikumpulkan sebanyak 200.000 orang.

Dari berita-berita itu cukuplah terbukti, bahwa rakyat Indonesia pada waktu lampau memang telah mengenal ilmu siasat perang.  Hanya saja tidak diketemukan kitab-kitan yang menguraikan ilmu ini secara metodis dan sistematis.  Seperti telah dikatakan di atas, seandainya dapat diketemukan berita-beritanya, berita-berita itu ada terselip dalam kitab kesusasteraan Indonesia kuno.  Salah satu buah kesusasteraan Indonesia kuno yang sedikit agak metodis membicarakan siasat perang frontal yang disebut ‘wyuha’, ialah kitab ‘Kakawin Bharata-Yuddha’.

Menurut kesusteraan India kuno, kitab ‘Arthasastra karya Kauttilya’ menyebutkan beberapa macam wyuha, antara lain ialah :

1.            Ddanddda wyuha, susunan tentara seperti bentuk alat pemukul,
2.            Bhoga wyuha, susunan tentara seperti ular,
3.            Mannddala wyuha, susunan tentara seperti bentuk lingkaran,
4.            Asamhata wyuha, susunan tentara yang bagian-bagiannya terpisah-pisah,
5.            Pradara wyuha, susunan tentara penggempur musuh,
6.            Ddrddhaka wyuha, susunan tentara dengan sayap dan lambung tertarik ke belakang,
7.            Asahya wyuha, susunan tentara yang tak bisa ditembus,
8.            Garudda wyuha, susunan tentara seperti burung garuda,
9.            Sanjaya wyuha, susunan tentara untuk mencapai kemenangan dan berbentuk busur,
10.        Wijaya wyuha, susunan tentara menyerupai busur dengan bagian busur depan yang menjorok ke muka,
11.        Sthulakarna wyuha, bentuk susunan tentara yang menyerupai telinga besar (karna sthula),
12.        Wiҫalawijaya wyǔha, bentuk susunan tentara yang disebut kemenangan mutlak; susunannya sama dengan sthulakarnna, hanya saja bagian depan disusun dua kali lebih kuat dari sthulakarnna wyuha’
13.        Camǔmukha  wyǔha, bentuk susunan tentara dengan bentuk 2 sayap yang saling berhadapan muka dengan musuh (dalam bahasa sansekerta, camǔ berarti satu kesatuan perang),
14.        Jhashãsya wyǔha, bentuk susunan tentara seperti  camǔmuka, hanya saja sayapnya ditarik ke belakang (jhashãsya berarti muka ikan),
15.        Sǔimukha wyǔha, bentuk susunan tentara yang berujung (muka (mukha) seperti jarum (sǔci)
16.        walaya wyǔha, susunan tentara seperti  Sǔimukha wyǔha, hanya ajabarisannya terdiri 2 lapisan,
17.        ajaya wyǔha, susunan tentara yang tidak terkalahkan,
18.        sarpasari wyǔha, susunan tentara seperti ular (sarpa) yang bergerak (sari),)
19.        gomǔtrika wyǔha, susunan tentara yang berbentuk arah terbuangnya air kencing (mǔtrika) sapi (go),
20.        syandana wyǔha, susunan tentara yang menyerupai kereta (syandana),
21.        godha wyǔha, susunan tentara yang menyerupai buaya (godha),
22.        wâripatantaka wyǔha, susunan tentara sama seperti syandana wyǔha, hanya semua pasukan terdiri dari barisan gajah, kuda dan kereta perang,
23.        Sarwatomukha wyǔha, susunan tentara yang berbentuk lingkaran, sehingga pengertian sayap, lambung dan bagian depan tidak ada lagi; sarwato dari kata sarwata yang berarti seluruh, sedangkan mukha berarti arah,
24.        Sarwatabhadra wyǔha, susunan tentara yang serba (sarwata) menguntungkan (bhadra),
25.        Ashttanika wyǔha, susunan tentara yang terdiri dari 8 divisi ( assatt atau assashttanika berarti delapan)
26.        Wajra wyǔha, susunan tentara menyerupai petir (wajra) dan terdiri dari 5 divisi yang disusun terpisah-pisah satu dari yang lain,
27.        Udyâ wyǔha, susunan tentara menyerupai taman (udyânaka) yang juga disebut kâkapadi wyǔha, artinya susunan yang berbentuk kaki (padi berarti berkaki) burung kaka-tua (kâka) dengan ketentuan bahwa susunan tentara ini terdiri 4 divisi,
28.        Ardhacandrika wyǔha, susunan tentara yang berbentuk bulan sabit, juga disebut ardhacandra wyǔha ; ditentukan bahwa susunan tentara ini berdasarkan atas 3 divisi,
29.        Karkâttakaҫrênggi wyǔha, susunan tentara yang berbentukkepala (ҫrêngga) udang (karkâttaka),
30.        Artisa wyǔha, susunan tentara yang serba menang (arista) dengan susunan garis depan yang ditempati oleh barisan kereta perang, barisan gajah, sedang barisan kuda menempati garis belakang,
31.        Acala wyǔha, susunan tentara yang tidak bergerak, ialah suatu susunan tentara dengan   menempatkan barisan infanteri, barisan gajah, barisan kuda dan barisan kereta perang satu di belakang yang lain,
32.        Ҫyena wyǔha, susunan tentara sama dengan garudda eyǔha,
33.        Apratihata wyǔha, susunan tentara yang tidak dapat dilawan (pratihata berarti melawan sedangkan ‘a’ berarti tidak) dengan ketentuan bahwa barisan gajah, barisan kuda, barisan kereta perang dan barisan infanteri ditempatkan satu di belakang yang lain,
34.        Capa wyǔha, susunan tentara yang berbentuk busur
35.        Madhya capa wyǔha, susunan tentara yang berbentuk busur dengan inti kekuatan dibagian tengah.

Sebaliknya, di dalam kitab Kamandaka,  salah  satu kitab dari kesusateraan Jawa kuno disebutkan 8 macam wyǔha, ialah :

1.            Garudda wyǔha (atau byuha), susunan tentara yang berbentuk garuda,
2.            Singha wyǔha, susunan tentara yang berbentuk singa,
3.            Makara wyǔha,  susunan tentara yang berbentuk makara (udang)
4.            Cakra wyǔha, susunan tentara yang berbentuk cakram,
5.            Padma wyǔha, susunan tentara yang berbentuk bunga seroja,
6.            Wukir sagara wyǔha, susunan tentara yang berbentuk bukit dan samudera,
7.            Ardhanacandra  wyǔha, susunan tentara yang berbentuk bulan sabit,
8.            Wajratikshnna  wyǔha, susunan tentara yang berbentuk wajra atau petir yang tajam.

Di dalam kakawin Bhârata-Yudha disebutkan 10 macam wyǔha, ialah :

1.            Wukir sagara wyǔha (terdapat dalam transkripsi kakawin bharata-Yudha Pupuh (X dan XL  2)
2.            Wajratikshnna (Pupuh X  11)
3.            Kagapati wyǔha (Pupuh XII  6)
4.            Gajendramatta atau gajamatta wyǔha (Pupuh XIII  13)
5.            Cakra wyǔha (Pupuh XIII 22 dan XV  21)
6.            Makara  wyǔha ( XIII  24 dan XXVII 2 )
7.            Sǔcimukha wyǔha dalam Pupuh XV  21)
8.            Padma  wyǔha  (Dalam Pupuh XV 22)
9.            Ardhanacandra wyǔha  (Dalam Pupuh XXVI  5)
10.        Kânanja wyǔha  (Dalam Pupuh XL  2)

Ketika perang besar antara keluarga Kurawa dan Padawa dimulai, tentara Kurawa mengambil susunan tentara wukir sagara.  Raja-raja takluk, kerajaan Hastina yang berkendaraan gajah dan kuda merupakan karang laut yang serba kokoh dan kuat, sedangkan serangan prajurit yang bergelombang itu merupakan gelombang samudera yang tiadak ada henti-hentinya.  Susunan tentara ini memerlukan memerlukan sejumlah prajurit yang banyak, bertempur dalam massa yang besar dan memiliki dinamika dan daya tempur yang tinggi, hal tersebut sebagaimana diceritakan dalam Pupuh X  17, yang menyatakan bahwa satu kereta perang diperkuat oleh 10 ekor gajah, sedangkan masing-masing gajah diperkuat oleh 10 ekor kuda dan seekor kuda diperkuat oleh 10 orang prajurit.  Massa yang banyak dengan kuda dan gajah itu menjadi bukit yang kokoh. 

Sebaliknya dalam permulaan perang ini menurut Pupuh X, 11 keluarga Pandawa mengambil susunan tentara yang disebut ‘wajratikshnna wyǔha’, artinya petir yang tajam.  Bima, Arjuna dan Srikandi merupakan ujung petir yang tajam, sedangkan putera-putera Wirata, Uttara dan Sangka, bersama-sama Setyaki serta Drestajumena memimpin pertahanan di belakang.  Yudhistira bersama-sama dengan raja lainnya, — tentunya yang dimaksud ialah Kresna, Nakula dan Sadewa bersama-sama dengan Sweta —, dalam Pupuh X  11 itu dikatakan ada di barisan tengah.  Susunan tentara yang disebutkan dalam kakawin Bharata-Yudha ini berbeda dengan apa yang disebutkan dalam serat Bratayuda Jarwa yang dipergunakan oleh J. Kats sebagai bahan penulisan bukunya.

Berikut adalah beberapa contoh susunan tentara dalam perang Bharata-Yudha antara Pandawa melawan Kurawa :

Gambar A. Wajratiksnna Wyǔha dan Wukir Sagara Wyǔha

Wajratiksnna Wyuha dan Wukir Sagara Wyuha
Keterangan gambar A. :

Keluarga Pandawa menggunakan siasat perang  ‘Wajratiksnna wyuha’ dengan susunan tentara sebagai berikut :

1.            Bhima (ujung depan).  2. Srikandi (ujung depan).  3. Arjuna (ujung depan).  4. Yudhistira  (tengah).  5. Kresna (tengah).  6. Sweta (garis belakang).  7. Sangka (garis belakang).  8. Uttara (garis belang).  9. Setyaki (garis belakang).  10. Drestajumena (garis belakang sayap kanan.

I.             Sedangkan dari barisan Kurawa terdiri dari gajah dan kuda yang menyerupai karang laut (bukit). yang kompak, sedangkan,
II.     Terdiri dari pasukan darat yang secara bergelombang menuju ke depan.

Dari kedua susunan tentara yang dimiliki oleh keluarga Pandawa dan Kurawa itu dapat diketahui, bahwa kedua-duanya memiliki tenaga ofensif yang kuat.  Dalam kaitan ini dapat dikatakan, bahwa dalam kitab Bhismaparwa yang berbahasa Jawa kuno itu, susunan tentara keluarga Pandawa itu berlainan dengan apa yang disebutkan dalam kakawin Bhârata-Yudha.  Kecuali nama wyǔhanya tidaklah disebutkan.  Jika ditinjau dari sudut akulturasi Mpu Sêddah yang menciptakan kakawin ini mempunyai daya cipta sendiri dan tidak menjiplak begitu saja yang disebutkan dalam kitab Mahabhârata dalam bahasa Jawa kuno (saduran dari kitab Mahâbhârata dalam bahasa Sangsekerta) yang dijadikan dasar penyusunan cerita kakawin Bhârata-Yuddha tersebut.

Seperti diketahui, dalam permulaan perang itu barisan Pandawa menderita kekalahan besar, ialah dengan terbunuhnya Sweta yang menjadi panglima dan dua orang adiknya Sangka dan Uttara, sedangkan di pihak Kurawa adalah Rukmaratha anak dari raja Salya.  Oleh karena dengan adanya susunan tentara ‘wajratikshnna’ itu keluarga Pandawa menderita kekalahan.  Menurut Pupuh XII 5-7 dikatakan, bahwa setelah Drestajumena diangkat menjadi panglima, susunan tentara Pandawa diganti menjadi ‘Garuda wyǔha dan menurut Pupuh XII 8 diimbangi oleh tentara Kurawa.  Susunan tentara kedua pihak itu lebih tenang sifatnya, karena titik beratnya terlrtak pada aspek defensif, setelah terbukti bahwa dengan susunan tentara yang masing-masing berbentuk wukir sagara dan wajratikshnna itu yang bersifat ofensif keduannya menderita kekalahan dan kerugian besar.

Susunan tentara garudda wyuha menitik beratkan siasatnya untuk menjaga keselamatan dari induk barisan dan keselamatan ini dijamin oleh pemusatan kekuatan di masing-masing lambung.  Dengan adanya jaminan dari kedua lambung itu barisan induk dengan tenang dapat mengadakan ofesif atau penyerangan dengan dibantu dan dilindungi oleh masing-masing lambung.

Gambar B.  Garuda Wyuha
Garuda Wyuha
Keterangan gambar B

Keluarga Panddawa :
1.            Drupada (kepala). 
2.            Arjuna (paruh). 
3.            Yudhistira (punggung). 
4.            Raja-raja termasuk Nakula dan Sadewa (punggung). 
5.            Bhima (lambung kiri). 
6.            Drestajumena (lambung kanan). 
7.            Setyaki (ekor).

Keluarga Kurawa :
I.             Sangkuni (kepala), 
II.          (Salya),  (paruh), 
III.       Suyudana (punggung), 
IV.       Bhisma (lambung kiri), 
V.          Dorna (lambung kana), 
VI.    Dursasana (ekor).

Dengan mempergunakan susunan tentara yang serba tenang untuk menjaga jangan sampai banyak menderita kerugian, tentara Kurawa juga menderita kerugian besar dengan terbunuhnya panglima Bhisma, karena sebagai pemimpin yang diserahi pertahanan di lambung kiri kecuali menyerang, juga menjaga keamanan raja Suyudana yang ada di barisan induk.  Dari tempat yang aman ini raja Suyudana menempati posisi yang strategis, karena dapat melihat seluruh gerakan tentara Kurawa yang sedang bertempur.

Setelah Bhisma gugur dalam medan pertempuran, kedudukannya diganti oleh Dorna yang menjadi panglima tentara Kurawa ;  ia memilih susunan tentara gajamatta, seperti yang disebutkan dalam Pupuh XIII 13.  Sebaliknya tentara Pandawa, seperti yang disebutkan dalam Pupuh XIII 13 itu juga memilih susunan tentara gajamatta sama seperti yang digunakan oleh susunan tentara Kurawa.  Hal ini berbeda dengan dalam karangan J. Kats yang uraian tulisannya atas dasar kitab ‘Serat Bratayuda’, tentara Pandawa tetap mempertahankan susunan tentara garuda wyuha.

Gambar C.  Gajamatta Wyǔha
 
Gajamata Wyuha










Keterangan Gambar C.

Keluarga Kurawa :
I.             Bhagadatta (belalai),  
II.          Karna (gading),  
III.       Jayadrata (gading), 

Keluarga Pandawa :
1.            Arjuna (gading)

Dari pertempuran kedua pihak yang masing-masing mempergunakan susunan tentara berbentuk gajamatta wyuha itu, dari pihak Kurawa dapat diketahui susunannya dengan jelas, karena disebutkan  dalam kakawin Bhârata-Yudha, akan tetapi sebaliknya kakawin Bhârata-Yudha hanya menyebutkannya dengan samar-samar.  Yang disebutkan dalam Pupuh XIII  15, hanya Arjuna.  Di dalam pertempuran itu, pihak Kurawa mengalami kerugian, karena Bhagadatta gugur sebagai akibat serangan Arjuna.  Tentara Kurawa sesungguhnya akan mengalami kerugian lebih besar lagi, jika hari tidak menkadi malam.  Dengan datangnya malam itu peperangan harus dihentikan.

Pada waktu pagi di hari berikutnya, Dorna telah mendengar dari Yudhistira sendiri, bahwa ia dapat dibinasakan jika dirinya ditinggalkan oleh Bhima dan Arjuna, seperti yang disebutkan dalam Pupuh XIII  19.  Setelah dapat menipu Bhima dan Arjuna untuk berperang di tempat-tempat yang jauh, Dorna mencoba membunuh Yudhistira dengan jalan merubah susunan tentara dari gajamatta wyuha menjadi cakra wyuha, seperti yang disebut kan dalan Pupuh XIII  22.   Karena dengan perginya Bhima dan Arjuna itu tentara Pandawa menjadi lemah.  Yudhistira mengganti susunan tentaranya dan dari gajamatta wyuha menjadi makara eyuha, seperti yang disebutkan dalam Pupuh XIII  24.

Gambar D.  Makara Wyuha dan Cakra Wyuha












Keterangan Gambar D
Makara Wyuha : 
1.         Dhrêshttdyumna (sapit kanan),
2.         Ghatotkaca (sapit kiri),
3.         Sâtya (mulut),
4.         Nakula. (mata kiri),
5.         Sahadewa (mata kanan),
6.         Abbhimanyu (hidung),
7.         Dua orang Panjcawala atau anak Pânnnddawa (sungut kiri),
8.         Tiga orang Panjcawala (sungut kanan),
9.         Yudhishtthira (kepala),
10.     Beberapa orang raja (punggung),
11.     Beberapa orang raja (badan).

Cakra Wyuha :
I.         Jayadratha (peleg) bersama dengan raja-raja lainnya,
II.       Karnna (ruji-ruji),
III.    Dronna (ruji-ruji),
IV.    Krepa (ruji-ruji),
V,VI. dan seterusnya orang-orang Kurawa (ruji-ruji),
VII. Suyodhana (sumbu).

 Dronna yang menjadi panglima tentara Kaurawa itu mengganti susunan tentaranya menjadi cakra wyuha , setelah melihat tentara Pannddawa menjadi lemah ketika ditnggalkan oleh Bhima dan Arjuna. Susunan tentara keluarga Kaurawa ini menempatkan Suyodhana pada sumbu sumbu roda tepat, sehingga Suyodhana dilindungi oleh sekian banyak pahlawan-pahlawan, seperti Dronna, Karnna dan Krepa. Dengan ini rekonstruksi yang disusun berbeda dengan rekonstruksi yang disusun oleh J. Kats. Di dalam Kakawin  Bharata-Yudha tidak disebutkan dengan pasti tempat manakah yang dijaga oleh  raja Suyodhana. Tetapi pupuh XIII 25 menguraikan tentang serangan Abhimanyu yang dahsyat itu dapat merusak susunan tentara Kaurawa dengan serangan panah, sehingga Abhimanyu mendekati tempat pertahanan Suyodhana, yang disebut belakangan ia lari. Dalam usaha mengejar Suyodhana itu Abhimanyu dihalang-halangi oleh Dronna dan Karnna. Dengan ini dapat diambil kesimpulan, bahwa Suyodhana itu menempati sumbu roda yang etaknya tidak jauh dari Dronna dan Karnna. Susunan cakra wyuha itu kuat, karena mempunyai front depan di bagian manapun juga sesuai dengan bentuknya yang menyerupai lingkaran itu. Tetap bagaimanapun juga kuatnya, pasukan Abhimanyu dengan panahnya yang tepat menyerang dari jauh, sehingga tidak perlumendekati peleg yang dijaga oleh Jayadratha serta lain-lainnya, dan sempat juga untuk mengusir raja Suyodhana dari tempatnya.

Sebaliknya, makara wyuha itu merupakan suatu susunan tentara yang serba lebar frontnya dan dalam beberapa hal mempunyai keuntungan seperti disebutkan di bawah ini : 1. Dengan hidungnya (ditempati oleh Abhimanyu), susunan tentara ini dapat mengadakan serangan yang jitu dengan panah dari jarak jauh dan dengan adanya kemungkinan juga dibantu kedua sapit (Dreshtthayumna dan Ghatotkaca) yang mobil untuk bergerak ke arah mana juga yang disukai untuk membantu Abhimanyu yang ada di depan, begitu pula dapat membantu mereka yang ada di badan dan punggung dari susunan tentara ini yang merupakan barisan belakang. Bahkan Yudhishtthira yang ada di tengah itu juga mendapat perlindungan dari kedua sapit dan sungut itu. 2. Sungutnya yang ditempati oleh orang-orang Panjcawala yang lima jumlahnya yang dibagi menjadi dua (kiri dan kanan) mempunyai tugas untuk menyerang dengan tujuan menemukan bagian mana dari pertahanan musuh yang lemah. 3. Kedua sapit ini dapat bergerak dalam front yang lebar, karena dengan jalan memperpanjang sapitnya dapat menjapit seluruh musuh dan dapat membantu Abhimanyu dengan membelokkan kedua sapit itu ke dala.

Susunan tentara yang disebut makara wyuha ini sangat ampuh, karena di belakang Abhimanyu ditempatkan Satyaki seebagai mulut yang setiap waktu dapat menggantikan kedudukan Abhimanyu jika gugur atau terluka dan di belakangnya lagi 2 mata yang terdiri dari pahlawan kembar Nakula dan Sahadewa dapat mengawasi berlangsungnya pertempuran dan siap membantu bagian mana yang lemah. Yudhishtthira yang menempati bagian kepala menjadi “brain” dari serangan-serangan yang diadakan dan diatur dari tempat Yudhistthira tersebut. karena tempat Yudhishtthira ini tepat di tengah, dengan sendirinya telah dilindungi oleh barisan yang ada di sekitarnya.

Susunan tentara ini sangat jitu, apabila dikerjakan dengan segala perhitungan. Tetapi kesalahan pihak Pannddawa, ialah sekalipun Abhimanyu itu sangat berani, tetapi kurang berhati-hati dan kurang perhitungan. Didalam kegembiraannya karena dapat memaksa Suyodhana lari. Abhimanyu mau mengejarnya tetapi waktu itu juga Jayadraha bersama-sama dengan raja-raja lainnya yang merupakan peleg susunan tentara Kaurawa membuka satu bagian dari peleg itu, sehingga Abhimanyu memasuki bagian dari susunan tentara Kaurawa yang terbuka itu. Setelah ia masuk, peleg ditutup rapat kembali, sehingga Abhimanyu terpisah dari pasukan Pannddawa dan dikepung oleh orang-orang Kaurawa. Sekalipun ia masih dapat membinasakan putera mahkota Hastina yang bernama Lakshmanna-kumara. Abhimanyu gugur ketika dikroyok oleh orang-orang Kaurawa. Karena hari mulai gelap pertempuran dihentikan.

Ketika pada pagi harinya pertempuran dimulai lagi keluarga Pannddawa yang telah mengetahui, bahwa makara wyuha tidak banyak manfaatnya, menggantikannya dengan cakra wyuha sehingga mengimbangi susunan tentara Kaurawa, seperti yang disebutkan dalam pupuh XIII 24.

G a m b a r  E
      Cakra Wyuha,  Padma Wyuha dan Sucimuka Wyuha 

Keterangan Gambar E

Kurawa/Cakra Wyuha :

1.         Arjuna (leher)
2.         Kreshnna (leher) : disebutkan nama Kreshnna disini, karena menurut Pupuh XV 29 yang mengatakan bahwa dalam pertempuran itu Kreshnna dan Arjuna bersenda gurau. Kedua orang ini menempati pertahanan yang paling dekat mendekati,
3.         Dhreshttadyumna,
4.         Çatanika.

Pandawa/Cakra Padma Wyuha :

I.          Karnna,
II.       Jalasandha,
III.    Dronna,
IV.    Jayadratha,
V.       Çalya.

Dari uraian Pupuh XV 21-23 ini dapat diketahui, bahwa untuk menyelamatkan Jayadratha, telah diadakan satu susunan tentara berlapis tiga. Sesungguhnya, Jayadratha setelah berhasil membinasakan Abhimanyu merasa ketakutan untuk diserang oleh Arjuna yang telah bersumpah lebih baik menceburkan dirinya dalam api daripada hidup yang gagal karena tidak dapat membunuh Jayadratha. Kehendak Jayadratha untuk meninggalkan medan pertempuran telah dicegah oleh Drona yang berjanji akan melindungi Jayadratha, seperti yang disebutkan dalam Pupuh XIV 12. Justeru karena Jayadratha yang akan dilindungi, susunan tentara Kaurawa itu  dandiperkuat dengan diberi berlapis tiga, ialah di depan berbentuk cakra wyuha di bawah pimpinan Karnna, di tengah padma wyuha (berbentuk bunga seroja) dibawah pimpinan Dronna dan di dalam susunan tentara yang berbentuk bunga seroja ini Jayadratha disembunyikan. Untuk memperkuat tempat bersembunyi ini di belakang susunan tentara yang berbentuk bunaga seroja itu masih diketemukan lapisan pertahanan ketiga yang berbentuk sucimuka wyuha. Ialah susunan tentara yang berbentuk jarum tajam (suci) di bagian depan 37).

Berdasar keterangan dari kitab Arthaҫastra karya Kauttilya yang menguraikan, bahwa susunan tenta sucimukha itu ditempatkan salah satu tentara lainnya 38). Didalam rekonstruksi susunan tentara Kaurawa ini juga susunan tentara sucimukha ditempatkan di barisan belakang. Khusus untuk melindungi Jayadratha. Dengan adanya rekonstruksi  baru ini, jelaslah bahwa apa yang direkonstruksikan oleh J. Kats itu hanya diawur saja 39).

Stelah barisan belakang dari susunan tentara orang-orang Kaurawa yang berbentuk cakra wyuha itu binasa, karena serangan Arjuna, Bhima, Satyaki dan lainnya, sehingga pahlawan-pahlawan Kaurawa dan raja-raja serta tokoh-tokoh yang disebutkan dalam kelompok II itu binasa, Arjuna dapat mendekati tempat Jayadratha. Sementara itu Kreshnna mengambil suatu tindakan yang merupakan tipu nuslihat dengan jalan melemparkan cakramnya ke arah matahari, sehingga gelaplah waktu itu. Karena dikira hari telah malam dan Arjuna gagal mencapai tujuannya untuk membunuh Jayadratha sehingga ia harus menceburkan diri dalam api. Jayadratha yang mengira bahwa hari telah malam dan perang dihentikan, mulai keluar dari persembunyiannya dan pada waktu itulah dia mati dipanah oleh Arjuna.

Setelah Drona gugur sebagai senapati tentara Kaurawa, ditunjuklah Karnna yang menyusun suatu siasat baru dan memilih susunan tentara yang membentuk makara wyuha, seperti yang disebutkan dalam Pupuh XXVII 2. Sebaliknya tentara Pannddawa yang dipimpin oleh Arjuna mengambil susunan tentara yang disebut ardhacandra wyuha, seperti yang disebutkan dalam Pupuh XXVI 5.



Gambar F : Ardhacandra & Makara Wyuha

K e t e r a n g a n G a m b a r
Pandawa/Ardhacandra Wyuha :
1.      Arjuna (di depan)
2.      Kreshna (sebagai sais kereta perang Arjuna)
3.      Yudhistira (tengah)
4.      Nakula (belakang)
5.      Sahadewa (belakang)
6.      Yuyutsu (belakang)
7.      Satyaki (ujung kiri)
8.      Bhima (ujung kanan)

Kurawa/Makara Wyuha :
I.       Karna (mulut)
II.    Çalya (Sais kereta perang Karna)
III. Anak Karna
IV. Çakuni dan Sudharma (sapit kiri)
V.    Durmukha dan Angҫuman (sapit kanan)
VI. Suyodhana dan lain-lainnya (leher)
VII.          Beberapa orang raja (punggung)
VIII.       Para pahlawan Kurawa (ekor)

Dari susunan tentara yang dipakai oleh keluarga Pannddawa itu dapat diketahui, bahwa kecuali Arjuna sebagai panglima dapat menyerbu ke depan, dapat juga melindungi Yudhistira yang ada di belakangnya, sedangkan dari belakang kedudukan Yudhistira telah dilindungi oleh Nakula dan Yuyutsu. Ujung kiri dan kanan yang dipimpin oleh Satyaki dan Bhima dalam hal ini dapat dipergunakan untk membantu Arjuna menahan serangan mulut makara yang ditempati oleh Karna. Perhitungan orang-orang Pannddawa, bahwa Karna akan terjebak karena serangannya terlalu maju kedepan telah tercapai. Sebab Karna yang sangat bernafsu untuk berhadapan dengan Arjuna, ia terpisah dari susunan tentara Kaurawa, sehingga masing-masing bagian dari susunan tentara Kaurawa dapat dibinasakan oleh serangan orang Pannddawa. Akhirnya, kecuali Karna yang gugur karena serangan Arjuna. Duҫaҫana juga gugur karena dibinasakan oleh Bhima.

Pada waktu raja Çalya menjabat panglima tentara Kaurawa setelah Karna gugur, susunan tentara yang menyerupai hutan, seperti yang disebutkan pada Pupuh XL 2. Tujuann Çalya ialah untuk melindungi Suyodhana yang ada di tengah dengan menempatkan orang-orang pahlawan di sekitanya. Dari kakawin Bharata-Yudha dapat diketahui, bahwa susunan tentara kâhanawyuha ini menyerupai laut pada waktu pasang. Yang disebut dengan air laut yang pasang dan menyerang daratan itu rupa-rupanya serangan yang bertubi-tubi yang diadakan oleh para perajurit dan pahlawan yang mengelilingi raja Suyodhana.


Gambar G – Kanana Wyuha


Keterangan Gambar G :
I.             Suyodhana,
II.          Lapisan perajurit,
III.       Lapisan perajurit

Sebaliknya tentang susunan tentara Pannnddawa tidak disebutkan sama sekali.

Dari uraian tersebut di atas itu dapat diambil kesimpulan, bahwa bangsa Indonesia sejak zaman yang lampau itu mengenal pengetahuan ilmu perang dan karena kitab-kitab yang mengajarkan ilmu ini secara metodis tidak diketemukan, dapat dikatakan bahwa bangsa Indonesia dengan mengerjakan otaknya yang tajam dan sehat dapat menggembangkan ilmu perang yang didasarkan atas fragmen-fragmen ilmu perang itu yang diketemukan dalam kesusasteraan Indonesia kuno.

    SP —

P u s t a k a  :
Prof. Dr. R.M. Sutjipto Wirjosuparto, “Kakawin Bharata-Yuddha”
Penerbit – Bhratara – Jakarta 1968