Jumat, 31 Agustus 2012

5 M By Slamet Priyadi


SLAMET PRIYADI
( MGMP SENI BUDAYA SMAN 42 – Jumat, 31 Agustus 2012)

1.      Mengajar harus dengan persiapan yang matang baik  persiapan kognitif, afektif dan psikomotorik.

2.      Mengajar harus terencana, terstruktur, interaktif, inovatif, dan efektif. Terutama dalam intonasi, dan artikulasi. Ucapan vocal harus keras dan jelas.

3.      Mengajar harus disajikan melalui pendekatan psikologis, individual dan social

4.      Mengajar harus dengan strategi, metode, dan alat bantu (media) pembelajaran

5.      Mengajar harus ada evaluasi baik evaluasi kepada siswa maupun kepada diri sendiri sebagai guru. Hal ini dilakukan sebagai koreksi ke dalam. Sampai sejauh manakah materi pembelajaran bisa ditangkap siswa, dan sampai sejauh mana pengembangan serta peningkatan kemampuan guru dalam mengajar.

Kamis, 30 Agustus 2012

HULU KERIS, SENI ARCA YANG MEMPESONA By Toni Junus


Ketika seseorang menyelipkan keris pada saat berbusana tradisional, hulu keris adalah bagian dari keris yang paling pertama terlihat oleh mata. Sarung keris tidak mudah dilihat karena sebagian tertutup oleh pakaian.
Kata "hulu" berasal dari bahasa Melayu, sebutan dalam bahasa daerah yang ada di Indonesia antara lain: Ukiran, Jejeran atau Deder (bhs. Jawa); Gagang, Tongkol (Cirebon, Banten); Landhian atau Denangan (Madura) dan Danganan (Bali dan Lombok).

Seni hulu keris dapat dibagi dalam 2 (dua) pemahaman, yaitu nilai wujud fisik (tangible) dan abstraksinya (intangible). Wujud dari hulu keris adalah merupakan suatu benda yang diciptakan dengan sentuhan-sentuhan seni, bahannya terbuat dari kayu pilihan, tanduk rusa, tulang, gading, fosil dan ada hulu keris yang dibungkus oleh emas atau perak. Di Jawa (keraton Surakarta dan Yogyakarta) umumnya terbuat dari kayu yang memiliki serat lembut dan indah, seperti kayu asam (tamarindus indicus), kayu kemuning (murraya paniculata), kayu kendayaan (bauhinia malabarica), kayu Tayuman (bauhinia tomentosa), dan kayu timåhå pélét atau timåhå kendit (klenhovia hospita).

Abstraksi dari hulu keris (intangible) adalah adanya aspek-aspek yang melatar-belakangi pembuatannya. Aspek-aspek itu antara lain sisi pandang mistik (mithologi), adanya keterkaitan dengan kepercayaan, menjadi simbol status sosial, memiliki nilai kesejarahan dan muatan filosofi. Semuanya itu diekspresikan secara visual dengan gaya dan bentuk berbeda-beda antara daerah satu dengan lainnya.

”Peninggalan-peninggalan kebudayaan dalam sisi kebendaan dapat langsung kita teliti dan selidiki saat ini, karena masih ada dan masih dapat dilihat dan diraba. Tidak demikian dengan sejarah yang melatar belakanginya. Kebanyakan hanya bisa ditafsirkan oleh para ahli dari prasasti-prasasti, babad-babad, lontar serta tulisan-tulisan dari sejarahwan asing barat. Ragam hulu keris merupakan salah satu peninggalan yang bisa dipakai untuk melacak sejarah, biarpun belum ada sejarahwan yang melakukannya secara ilmiah, seperti penemuan arkeologi dan peninggalan sejarah (artefak) lainnya”. (Suhartono Rahardjo; Ragam Hulu Keris, Sejak Zaman Kerajaan, hal. XII, >Penerbit Kreasi Wacana, Januari 2003).

Keris sebagai benda ideologis menghimpun simbol-simbol pengetahuan dan kepercayaan yang sangat kompleks yang berkembang di Nusantara. Oleh karena, pembuatan keris penuh dengan simbolisme dan filosofi, bahwa bagian tangkai keris yang diselubungi hulu keris disebut peksi (tang) sebagai simbol Lingga atau kelamin pria dan bagian bilah keris yang melintang disebut gånjå (crosspiece of the blade) adalah simbol Yoni atau kelamin wanita. Dalam penyatuannya itu dianggap melahirkan suatu kekuatan dahsyat yang diinterpretasikan sebagai lahirnya roh baru (spirit baru). Oleh adanya pemahaman ini, maka muncul inspirasi yang digambarkan secara kreatif pada hulu keris dalam bentuk makhluk yang aneh sebagai penguasa yang duduk bersimpuh pada bilah keris. Penggambaran makhluk itu dibuat seolah menatap ke bawah, mengawasi sekelilingnya, menjaga keseluruhan perwujudan dari keris. Sehingga manifestasi kekuatan keris seolah terwakili oleh hulu keris tersebut.

Hulu keris jaman Singhasari disebut Yaksha, digambarkan sebagai raksasa telanjang yang duduk diatas ornamen tumpal (flora dalam bentuk segitiga), kemudian mempengaruhi karya-karya di wilayah lainnya, di wilayah Cirebon disebut Buthå Bajang.

Hulu keris jaman Singhasari disebut Yaksha, digambarkan sebagai raksasa telanjang yang duduk diatas ornamen tumpal (flora dalam bentuk segitiga), kemudian mempengaruhi karya-karya di wilayah lainnya, di wilayah Cirebon disebut Buthå Bajang.

Dari sinilah kemudian ”seni” hulu keris terus berkembang, mengalami penyesuaian dengan kepercayaan atau agama yang ada pada waktu itu. Menjadi sebuah ekspresi dari situasi pada masa itu, pertanda status sosial, dan keterlibatannya dalam tradisi berbusana adat. Sekarang kesenian hulu keris menjadi sangat menarik untuk dikoleksi secara terpisah dari kerisnya, dan menjadi kekaguman kita terhadap kesenian masa lampau. Banyak kolektor baik bangsa asing maupun dalam negeri yang telah memajangkan koleksi hulu keris pada lemari pajangnya.

Keterangan yang melatari setiap foto hulu keris yang disajikan disini bisa diikuti dengan membaca deskripsi.
Houw Lou (sebotol air) adalah simbol kepercayaan bangsa Mongolia sebagai bekal untuk hidup agar selamat dalam perantauannya hingga kembali ke tanah airnya. Houw Lou juga dipakai sebagai simbol pada kepercayaan Konghucu dipajang di kuil-kuil. Hulu keris ini diperkirakan buatan jaman Singhasari, bahannya dari batu giok merah yang diberi kombinasi emas.
Houw Lou (sebotol air) adalah simbol kepercayaan bangsa Mongolia sebagai bekal untuk hidup agar selamat dalam perantauannya hingga kembali ke tanah airnya. Houw Lou juga dipakai sebagai simbol pada kepercayaan Konghucu dipajang di kuil-kuil. Hulu keris ini diperkirakan buatan jaman Singhasari, bahannya dari batu giok merah yang diberi kombinasi emas.

Hulu keris Balu Mekabun menggambarkan manusia setengah rangda, dalam kepercayaan kuno di Bali dipahami sebagai perwujudan orang sedang ”ngeleak” (menjadi leak). Ngeleak adalah suatu ritual di Bali yang berasal dari ajaran Tantrisme dimana seseorang dapat menuju kesempurnaan jika dapat menyatukan wujudnya dengan bayangan tubuhnya sendiri. Pada beberapa catatan lain, ngeleak yang dianggap sebagai ilmu pengiwa itu, sebenarnya tak beda dengan kundalini; yaitu ilmu kesempurnaan mencapai moksa. Menurut Martin Kerner hulu keris ini menggambarkan Dewi Durga yang wajahnya tertutup kedok sebagai representasi dewa kematian. Sedangkan menurut Karsten Sejr Jensen; hulu keris ini merupakan figur yang wajahnya tertutup, karena tidak ada yang tahan setelah melihat wajahnya. Balu Mekabun dari bahasa Kawi berarti janda berwajah terselubung. Diperkirakan dipasang pada keris untuk ekskusi hukuman mati. Foto 1, hulu keris dari Bali; Foto 2. gaya Cirebon; 3. gaya Palembang.
Hulu keris Balu Mekabun menggambarkan manusia setengah rangda, dalam kepercayaan kuno di Bali dipahami sebagai perwujudan orang sedang ”ngeleak” (menjadi leak). Ngeleak adalah suatu ritual di Bali yang berasal dari ajaran Tantrisme dimana seseorang dapat menuju kesempurnaan jika dapat menyatukan wujudnya dengan bayangan tubuhnya sendiri. Pada beberapa catatan lain, ngeleak yang dianggap sebagai ilmu pengiwa itu, sebenarnya tak beda dengan kundalini; yaitu ilmu kesempurnaan mencapai moksa. Menurut Martin Kerner hulu keris ini menggambarkan Dewi Durga yang wajahnya tertutup kedok sebagai representasi dewa kematian. Sedangkan menurut Karsten Sejr Jensen; hulu keris ini merupakan figur yang wajahnya tertutup, karena tidak ada yang tahan setelah melihat wajahnya. Balu Mekabun dari bahasa Kawi berarti janda berwajah terselubung. Diperkirakan dipasang pada keris untuk ekskusi hukuman mati. Foto 1, hulu keris dari Bali; Foto 2. gaya Cirebon; 3. gaya Palembang.

http://www.keriskamardikan.com/images/stories/artikel/hulu-keris/New%20Picture%20%283%29.jpg

Hulu keris Jawa Demam dari Cirebon, menggambarkan makhluk berkepala burung yang sedang demam. Menurut dongeng rakyat Melayu mengisahkan, seorang raja memesan hulu keris kepada pengrajinnya. Hingga larut malam pengrajin itu tidak mendapat inspirasi, ia merasa kedinginan lalu menutup tubuhnya dengan kain sarung, sambil membuat arca kecil menggambarkan dirinya yang sedang kedinginan. Esoknya raja datang, tetapi justru menjadi senang melihat arca itu. Lalu mulailah bentuk-bentuk seperti itu dibuat untuk hulu keris yang menghiasi keris.

Hulu keris ini disebut Dewa Bayu, pada tangan kirinya memegang cermin sebagai simbol kekuatan Dewa Indra. Dewa Bayu merupakan simbolisasi untuk kemakmuran agraris karena dapat mengatur angin, mendorong awan di langit agar turun hujan yang membuat tanah subur.
Hulu keris ini disebut Dewa Bayu, pada tangan kirinya memegang cermin sebagai simbol kekuatan Dewa Indra. Dewa Bayu merupakan simbolisasi untuk kemakmuran agraris karena dapat mengatur angin, mendorong awan di langit agar turun hujan yang membuat tanah subur.

Toni Junus
About me:
Toni Junus is a kris designer and kris writer.
Implement the exhibition "Kris Kamardikan Award 2008" under the Panji Nusantara and Bentara Budaya Jakarta. As the chairman to held “Keris For The World 2010” exhibition, Panji Nusantara cooperated with> The Indonesian Cultural and Tourism Ministry at The National Gallery Indonesia, Jakarta.
Address :
Jl. Medan II, Blok F 79, Masnaga, Jaka Sampurna – Bekasi Selatan (17146).
HP. 0858 6621 3057.

Jumat, 17 Agustus 2012

Syeh Siti Jenar Versi Serat Negara Kertabumi

Jumat, 17 Agustus 2012-Denmas Priyadi Blog: Cerita eksekusi Syeh Siti Jenar versi Serat Negara Kertabumi berbeda dengan versi-versi lain yang biasa kita baca dan saksikan dalam buku-buku maupun film. Hal ini sebagaimana suntingan Rahman Sulendraningrat dalam buku "Siti Jenar-Cikal Bakal Faham Kejawen" tulisan YB. Prabaswara, halaman 32-34:

"Seperti juga versi Jawatengahan, sastra Kacirebonan ini menceritakan bahwa para pengikut Syeh Siti Jenar di Cirebon merupakan kelompok oposisi atas kekuatan kasultanan Cirebon. Beberapa tokoh pimpinan kelompok ini pernah mencoba untuk merebut tahta tapi tak pernah berhasil. Ketika Pengging dilumpuhkan, Syeh Siti Jenar yang pada waktu itu menyebarkan ajarannya di sana kembali ke Cirebon dan diikuti oleh para pengikutnya dari Pengging. Di sini, kekuatan Syeh Siti Jenarmenjadi kokoh, pengikutnya meluas dan menyebar sampai ke desa-desa. Setelah Syeh Datuk Kahfi wafat, Sultan Cirebon meminta Pangeran Punjungan untuk menjadi guru agama Islam di Amparan Jati. Pangeran Punjungan bersedia, tetapi ia tidak mendapat murid karena orang-orang sudah menjadi murid Syeh Siti Jenar termasuk Panglima bala tentara Cirebon, Pangeran Carbon. Dijaga oleh para murid-muridnya sangat setia itu, Syeh Siti Jenar aman tinggal di Cirebon.

Berita ini sampai ke telinga Sultan Demak, bahwa musuhnya berada di Cirebon. Sultan Demak lalu mengutus Sunan Kudus disertai 700 prajurit menuju Cirebon. Sultan Cirebon menerima permintaan Sultan Demak dengan tulus, bahkan memberi bantuan untuk tujuan itu.

Langkah pertama Sultan Cirebon adalah mengumpulkan para murid utama Syeh Siti Jenar antara lain, Pangeran Carbon, para Kyai Geng, Ki Palumba, Adipati Cangkuang, dan beberapa orang istana Pangkuangwati. Selajutnya bala tentara Cirebon dan Demak bergerak menuju Padepokan Syeh Siti Jenar di Cirebon Girang. Syeh Siti Jenar kemudian ditangkap dan dibawa ke Masjid Agung Cirebon untuk diadili. di sana para ulama telah berkumpul.

Sunan Gunung Jati Gunung Jati bertindak sebagai hakim ketua. Melalui perdebatan yang panjang, pengadilan memutuskan bahwa Syeh Siti Jenar bersalah besar, dan pengadilan memutuskan bahwa Syeh Siti Jenar mendapat hukuman mati. Selang beberapa waktu, akhirnya Syekh Siti Jenar dieksekusi mati oleh Sunan Kudus dengan keris pusaka Sunan Gunung Jati. peristiwa ini terjadi pada bulan Safar, tahun 923 H atau 1506 Masehi.