Ketika
seseorang menyelipkan keris pada saat berbusana tradisional, hulu
keris adalah bagian dari keris yang paling pertama terlihat oleh mata.
Sarung keris tidak mudah dilihat karena sebagian tertutup oleh
pakaian.
Kata "hulu" berasal dari bahasa Melayu, sebutan dalam bahasa daerah yang ada di Indonesia antara lain: Ukiran, Jejeran atau Deder (bhs. Jawa); Gagang, Tongkol (Cirebon, Banten); Landhian atau Denangan (Madura) dan Danganan (Bali dan Lombok).
Seni
hulu keris dapat dibagi dalam 2 (dua) pemahaman, yaitu nilai wujud
fisik (tangible) dan abstraksinya (intangible). Wujud dari hulu keris
adalah merupakan suatu benda yang diciptakan dengan sentuhan-sentuhan
seni, bahannya terbuat dari kayu pilihan, tanduk rusa, tulang, gading,
fosil dan ada hulu keris yang dibungkus oleh emas atau perak. Di Jawa
(keraton Surakarta dan Yogyakarta) umumnya terbuat dari kayu yang
memiliki serat lembut dan indah, seperti kayu asam (tamarindus indicus), kayu kemuning (murraya paniculata), kayu kendayaan (bauhinia malabarica), kayu Tayuman (bauhinia tomentosa), dan kayu timåhå pélét atau timåhå kendit (klenhovia hospita).
Abstraksi
dari hulu keris (intangible) adalah adanya aspek-aspek yang
melatar-belakangi pembuatannya. Aspek-aspek itu antara lain sisi
pandang mistik (mithologi), adanya keterkaitan dengan kepercayaan,
menjadi simbol status sosial, memiliki nilai kesejarahan dan muatan
filosofi. Semuanya itu diekspresikan secara visual dengan gaya dan
bentuk berbeda-beda antara daerah satu dengan lainnya.
”Peninggalan-peninggalan
kebudayaan dalam sisi kebendaan dapat langsung kita teliti dan
selidiki saat ini, karena masih ada dan masih dapat dilihat dan
diraba. Tidak demikian dengan sejarah yang melatar belakanginya.
Kebanyakan hanya bisa ditafsirkan oleh para ahli dari
prasasti-prasasti, babad-babad, lontar serta tulisan-tulisan dari
sejarahwan asing barat. Ragam hulu keris merupakan salah satu
peninggalan yang bisa dipakai untuk melacak sejarah, biarpun belum ada
sejarahwan yang melakukannya secara ilmiah, seperti penemuan
arkeologi dan peninggalan sejarah (artefak) lainnya”. (Suhartono Rahardjo; Ragam Hulu Keris, Sejak Zaman Kerajaan, hal. XII, >Penerbit Kreasi Wacana, Januari 2003).
Keris
sebagai benda ideologis menghimpun simbol-simbol pengetahuan dan
kepercayaan yang sangat kompleks yang berkembang di Nusantara. Oleh
karena, pembuatan keris penuh dengan simbolisme dan filosofi, bahwa
bagian tangkai keris yang diselubungi hulu keris disebut peksi (tang) sebagai simbol Lingga atau kelamin pria dan bagian bilah keris yang melintang disebut gånjå (crosspiece of the blade) adalah simbol Yoni atau
kelamin wanita. Dalam penyatuannya itu dianggap melahirkan suatu
kekuatan dahsyat yang diinterpretasikan sebagai lahirnya roh baru
(spirit baru). Oleh adanya pemahaman ini, maka muncul inspirasi yang
digambarkan secara kreatif pada hulu keris dalam bentuk makhluk yang
aneh sebagai penguasa yang duduk bersimpuh pada bilah keris.
Penggambaran makhluk itu dibuat seolah menatap ke bawah, mengawasi
sekelilingnya, menjaga keseluruhan perwujudan dari keris. Sehingga
manifestasi kekuatan keris seolah terwakili oleh hulu keris tersebut.
Hulu
keris jaman Singhasari disebut Yaksha, digambarkan sebagai raksasa
telanjang yang duduk diatas ornamen tumpal (flora dalam bentuk
segitiga), kemudian mempengaruhi karya-karya di wilayah lainnya, di
wilayah Cirebon disebut Buthå Bajang.
Dari sinilah kemudian ”seni”
hulu keris terus berkembang, mengalami penyesuaian dengan kepercayaan
atau agama yang ada pada waktu itu. Menjadi sebuah ekspresi dari
situasi pada masa itu, pertanda status sosial, dan keterlibatannya
dalam tradisi berbusana adat. Sekarang kesenian hulu keris menjadi
sangat menarik untuk dikoleksi secara terpisah dari kerisnya, dan
menjadi kekaguman kita terhadap kesenian masa lampau. Banyak kolektor
baik bangsa asing maupun dalam negeri yang telah memajangkan koleksi
hulu keris pada lemari pajangnya.
Houw
Lou (sebotol air) adalah simbol kepercayaan bangsa Mongolia sebagai
bekal untuk hidup agar selamat dalam perantauannya hingga kembali ke
tanah airnya. Houw Lou juga dipakai sebagai simbol pada kepercayaan
Konghucu dipajang di kuil-kuil. Hulu keris ini diperkirakan buatan
jaman Singhasari, bahannya dari batu giok merah yang diberi kombinasi
emas.
Hulu
keris Balu Mekabun menggambarkan manusia setengah rangda, dalam
kepercayaan kuno di Bali dipahami sebagai perwujudan orang sedang
”ngeleak” (menjadi leak). Ngeleak adalah suatu ritual di Bali yang
berasal dari ajaran Tantrisme dimana seseorang dapat menuju
kesempurnaan jika dapat menyatukan wujudnya dengan bayangan tubuhnya
sendiri. Pada beberapa catatan lain, ngeleak yang dianggap sebagai ilmu
pengiwa itu, sebenarnya tak beda dengan kundalini; yaitu ilmu
kesempurnaan mencapai moksa. Menurut Martin Kerner hulu keris ini
menggambarkan Dewi Durga yang wajahnya tertutup kedok sebagai
representasi dewa kematian. Sedangkan menurut Karsten Sejr Jensen; hulu
keris ini merupakan figur yang wajahnya tertutup, karena tidak ada
yang tahan setelah melihat wajahnya. Balu Mekabun dari bahasa Kawi
berarti janda berwajah terselubung. Diperkirakan dipasang pada keris
untuk ekskusi hukuman mati. Foto 1, hulu keris dari Bali; Foto 2. gaya
Cirebon; 3. gaya Palembang.
Hulu
keris Jawa Demam dari Cirebon, menggambarkan makhluk berkepala burung
yang sedang demam. Menurut dongeng rakyat Melayu mengisahkan,
seorang raja memesan hulu keris kepada pengrajinnya. Hingga larut
malam pengrajin itu tidak mendapat inspirasi, ia merasa kedinginan
lalu menutup tubuhnya dengan kain sarung, sambil membuat arca kecil
menggambarkan dirinya yang sedang kedinginan. Esoknya raja datang,
tetapi justru menjadi senang melihat arca itu. Lalu mulailah
bentuk-bentuk seperti itu dibuat untuk hulu keris yang menghiasi
keris.
Hulu
keris ini disebut Dewa Bayu, pada tangan kirinya memegang cermin
sebagai simbol kekuatan Dewa Indra. Dewa Bayu merupakan simbolisasi
untuk kemakmuran agraris karena dapat mengatur angin, mendorong awan di
langit agar turun hujan yang membuat tanah subur.
About me:
Toni Junus is a kris designer and kris writer.
Implement
the exhibition "Kris Kamardikan Award 2008" under the Panji Nusantara
and Bentara Budaya Jakarta. As the chairman to held “Keris For The
World 2010” exhibition, Panji Nusantara cooperated with> The
Indonesian Cultural and Tourism Ministry at The National Gallery
Indonesia, Jakarta.
Address :Jl. Medan II, Blok F 79, Masnaga, Jaka Sampurna – Bekasi Selatan (17146).
HP. 0858 6621 3057.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar