Kamis, 18 April 2013

Mengenang Sosok Ki Hajar Dewantara (Mei 1889-April 1959 By Slamet Priyadi


Denmas Priyadi Blog│Kamis, 18 April 2013│08:05 WIB
Ki Hajar Dewantara masa muda ( 2 Mei 1889-26 April 1959)
SETIAP tahun pada tanggal 2 Mei, Institusi Pendidikan, khususnya di jajaran Kemendiknas secara nasional memperingati “Hari Pendidikan Nasional”. Pertanyaannya adalah mengapa peringatan Hari Pendidikan Nasional itu diperingati pada 2 Mei?  Jawabannya tentu kita sudah tahu. Akan tetapi mungkin saja di antara kita banyak yang sudah lupa atau bahkan mungkin tidak tahu dan tidak mengenalnya siapa sosok Ki Hajar Dewantara. Nah, melalui tulisan inilah saya berupaya untuk membangkitkan kembali ranah kognitif kita memunculkan kembali ingatan kita pada sosok Ki Hajar Dewantara yang fenomenal itu. Tentu saja dalam rangka menghormati, mengenang jasa, dan meneladani sepak terjang serta perjuangan beliau yang begitu keras bagi kemajuan bangsa Indonesia khususnya dalam dunia Pendidikan Nasional kita.
Menurut sejarahnya, Ki Hajar Dewantara dilahirkan di kota budaya yang dikenal juga dengan sebutan kota pelajar, Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889 dengan nama Raden Mas Suwardi Suryaningrat. Ayahnya adalah seorang Pangeran bernama “Pangeran Suryaningrat” putra Paku Alam ke-4 dari Yogyakarta.   
Selepas lulus sekolah dasar Belanda “ELS” ( Europesche Largere School ), beliau melanjutkan ke Sekolah Guru juga ke STOVIA. Akan tetapi di sekolah ini Ki Hajar Dewantara tidak bisa menyelasaikan studinya sampai selesai karena bea siswa yang diperolehnya dihentikan alias dicabut karena gagal dalam mengikuti ujian kenaikan tingkat. 
Pelajaran yang bisa kita peroleh dari keteladanan beliau adalah pada sikap tegar tak kenal putus asa, meskipun beliau gagal dalam ujian, dan oleh karena itu pula bea siswanya  sampai dicabut atau dihentikan, beliau sama sekali tidak kecewa, tidak putus asa bahkan tetap tegar menghadapinya. Hal ini dibuktikannya dengan aktif dalam kegiatan menulis yang lebih intens dalam organisasi pergerakan pemuda yang sebelumnya memang sudah digelutinya. 
Beberapa tulisan beliau banyak menjadi pembicaraan dalam mesyarakat, bahkan dua buah tulisannya yang berisi kritikan terhadap pemerintah Kolonial belanda mendapat perhatian khusus. Kedua tulisan itu diberi judul, “Als Ik Een NederlanderWas” (Seandainya Aku Seorang Belanda), dan “Een Voor Allen maar Ook Allen voor Een” (Satu untuk Semua, Namun Semua untuk Satu Jagad).  
Selain aktif menulis dan bekerja di sebuah Apotek Rathkamp, Yogyakarta, Ki Hajar Dewantara pun aktif dalam berorganisasi. Beliau masuk organisasi “Boedi Oetomo” berada dalam divisi propaganda. Bersama-sama dengan Danudirja, Setyabudi, dan Cipto Mangunkusumo  mendirikan “IP” (Indische Partij di Bandung. 
Terlalu keras dan dianggap banyak menyulitkan pemerintah kolonial Belanda, ketiganya pun ditangkap dan diasingkan ke Negeri Belanda selama 6 tahun. Akan tetapi yang namanya Ki Hajar Dewantara memang memiliki sikap ketegaran yang luar biasa. Ia pantang menyerah dan terus berjuang keras membangun jiwa, membangun karakter bangsa. Di Negeri Belanda ini beliau memanfaatkan waktu luangnya dengan mengasah terus wawasan inteletualnya dengan belajar ilmu pendidikan sampai akhirnya memperoleh “Akta Guru Eopa” (Euroopeesche Akte).
Selepas pulang dari pengasingan selama 6 tahun dan memperoleh Akta Guru Eropa, Ki Hajar Dewantara mendarmabaktikan keilmuannya menjadi Guru di sekolah yang didirikan oleh sahabatnya Soeryopranoto. Di sekolah ini ia tetap berjuang keras untuk membangun jiwa, membangun karakter bangsa dengan berbagai pandangan-pandangan hidup dan pemikiran-pemikirannya yang berkait dengan karakter bangsa. Sampai pada akhirnya beliau Ki Hajar Dewantara mendirikan “Perguruan Nasiona Tamansiswa” (Onderwijs Institut Tamansiswa) pada tanggal 3 Juli 1922. 
Karena ketokohannya dalam dunia pendidikan menjadikan beliau, Ki Hajar Dewantara dipercaya dan ditunjuk menjadi salah satu anggota PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat) di era penjajahan Jepang. Beliau juga dipercaya terpilih sebagai Menteri Pengajaran Kabinet Pertama Republik Indonesia pada tanggal 2 September 1945. Beliau, Ki Hajar Dewantara terus berkiprah, berjuang tak kenal lelah dan putus asa, membangun jiwa, membangun karakter bangsa lewat pendidikan hingga pada akhir hayatnya.

 Ajaran Ki Hajar Dewantara yang sampai sekarang tetap terpatri di setiap jiwa para pemimpin dan teerutama para guru adalah “Ing Ngarso Sung Tulodo” (di depan menjadi teladan), “Ing Madyo Mangun Karso” (di tengah membangun dan membangkitkan karsa), “Tut wuri Handayani” (di belakang memberi dorongan semangat dan motivasi) Beliau, Ki Hajar Dewantara akhirnya menghembuskan nafas terakhir  pada tanggal 26 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di Pemakaman Wijayabrata, Yogyakarta. Oleh karena jasanya Pemerintah Republik Indonesia menganugerahi beliau sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional tahun 1959. Dan, hari lahirnya pun diperingati sebagai “HARI PENDIDIKAN NASIONAL”.
Sebagai rasa hormat dan sumbangsih penulis pada keteladan sikap, sepak terjang, dan perjuangan beliau serta untuk mengenang dan mengabadikan jasa-jasa beliau, penulis menciptakan satu lagu yang penulis beri judul “Bapak Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara”.
     
Bapak Pendidikan Nasional
Ki Hajar Dewantara (Mei 1989-April 1959)
Karya: Drs. Slamet Priyadi
E = do
4/4 Moderato                                                             
Cipt: Drs. Slamet Priyadi
            __        __           __                  __
1  |  6  4  3  2  3  4  |  5  3  2  1  5  |  6  6 7  1  2  |  5  .  0
                                                                                
        Bapak  pendidikan     nasional  Ki  Hajar Dewantara
                    __         __           __          __             __
        5  |  5  4  3  2   3  4  |  5  3  2   1   1   5  |  6   6  7  1  3  |  2  .  0
                                                                                                       
           Berjuang keras membangun jiwa membangun karakter bangsa
                         __        __           __                  __
             1  |  6  4  3  2  3  4  |  5  3  2  1  5  |  6  6 7  1  2  |  5  .  0
                                                                                              
             Bapak Pendidikan     Nasional  Ki  Hajar Dewantara
                      __       __      __                     __
                     5 | 5 4 3  2  3 4 | 5 2 3  1 5 | 6 1 7  3 2 | 1  .  0
                                                                                                
                    Ajarannya menjadi  teladan bagi kita semua
      REFF REIN :
                            ___                               __       __     __
 1   7 | 6  5  3  1  |  5 . . 4 3 | 2 2 3 4 3 4 |  5  .  0
Ing ngarso sung tulododidepan menjadi teladan
                            ___                                  __         __       
 1  7 |  6   5    3  1  |  5 . . 4  3  | 2  3  4   6   4  |  5  .  0
                   Ing madyo mangun karso di tengah membangun karsa
                     __                                    ___               
 1  7 | 6  5  3  1 | 5 . . 4 3 | 2  4  6   4 |  5  .  0
Tutwuri handayani     dibelakang memberi
  __         ___    ___    __
4   3 | 2   2   3   4   3  4  7  |  1  .   0   ||
                                     
                  Dorongan smangat dan motivasi
Penulis:
Slamet Priyadi di Kp. Pangarakan - Bogor

BLOG SLAMET: "INILAH KARYAKU": Mengenang Sosok Ki Hajar Dewantara (Mei 1889-April...: Denmas Priyadi Blog│Kamis, 18 April 2013│08:05 WIB Ki Hajar Dewantara masa muda ( 2 Mei 1889-26 April 1959) SETIAP tahun pada t...

Rabu, 17 April 2013

Apresiasi Seni Rupa Untuk Guru dan Siswa

Denmas Priyadi Blog ǀ Rabu, 17 April 2013 ǀ 07:26 WIB

Seni, Identitas, dan Mendeteksi yang Palsu
Oleh Aminudin TH Siregar )*

Aminudin TH Siregar ,S.Sn. ,M.Sn

KOMPAS.COM Ç€ Senin, 7 Januari 2013 | 08:34 WIB - Cara kita mencipta, menulis, membicarakan, dan memahami seni di abad ini telah banyak berubah. Perubahan tersebut ditandai dengan pelbagai peristiwa di medan sosial seni global dengan kemunculan karya-karya yang senantiasa menantang batas-batas kemapanan paradigma seni sebelumnya. Kenyataan semacam ini juga terjadi di Indonesia. Apa yang dipahami oleh S Sudjojono pada masa revolusi (”seni adalah jiwa kétok”) akan sangat berbeda dengan generasi seniman muda masa kini (”seni adalah kerja yang menyenangkan”; ”seni adalah main-main, asyik-asyik saja”). Sepintas rumusan seni Sudjojono—”seni adalah jiwa kétok” tidak berbeda jauh dengan rumusan gerakan Pujangga Baru yang mengatakan bahwa ”seni adalah gerakan sukma”. Rumusan ini dicetuskan sebagai ”manifesto” pada 1935. Oleh redaktur majalah Pujangga Baru, pada masa ini, tarik-menarik antara ”seni untuk seni” dan ”seni sebagai alat” mulai dibicarakan.
Jika lingkup kajian ini kita perluas, ihwal seni ini di dalam sejarah seni rupa kita mengerucut ke dua kubu yang saling berseberangan, mengemuka sebagai dua sistem kepercayaan: 
PERTAMA, kubu yang percaya bahwa ”seni adalah untuk seni”. Segala yang diciptakan oleh seniman tidak berurusan dengan kenyataan sosial. Sering dikatakan bahwa ”otonomi” adalah fenomena modern. Dan, dia adalah salah satu dari trinitas dalam paham modern: ”otentisitas”, ”orisinalitas”, dan ”otonomi”. Karena seniman adalah makhluk otonom, ia bukanlah orang yang bisa dideterminasi oleh apa dan siapa pun. Dari sisi estetika, wakil paling populer dari kubu ini adalah lukisan-lukisan formalistik, semisal abstrak dan ragam variasinya. Yang dinilai dari karya dalam kategori ini adalah pada kualitas intrinsiknya—kualitas yang tidak berhubungan dengan dunia luar.
KEDUA ”seni untuk rakyat”. Karena seniman adalah anggota atau bagian dari masyarakat, ia tidak bisa melepaskan diri dari masyarakatnya. Sebelum diformulasikan secara praksis dan pragmatis oleh Lekra dengan mengadopsi paham Realisme Sosialis internasional, sebenarnya Sudjojono telah mengawali konsepsi ini dengan kredo: ”kembali ke realisme”: sebuah lukisan harus dimengerti oleh masyarakat luas. Dalam pandangan ini, baik makna maupun nilai seni hanya bisa dipahami dengan cara menempatkannya ke dalam situasi sosial yang memproduksinya. Dalam kerangka ini, tidak sedikit pengamat seni yang menilai bahwa karya seni merefleksikan nilai (selera) kelas yang dominan dan seni digunakan sebagai alat perjuangan untuk melawan dominasi tersebut. Apabila sistem nilai ”Formalisme” adalah intrinsik, letak keberhasilan seni di paham kedua ini berada pada kualitas ekstrinsiknya. Sejarawan Marxis Nicos Hadjinicolaou, misalnya, mengatakan, ”… mulai sekarang pertanyaan idealis ’apa itu keindahan’ atau ’mengapa karya itu indah’ harus diganti dengan pertanyaan materialis, ’oleh siapa, kapan, dan dalam kepentingan apa sebuah karya itu disebut indah’.” Karena itu, mereka yang bekerja di koridor ini lazim disebut ”pekerja seni” (art workers) ketimbang ”seniman” (artists). 
Ciri dan gaya.  
Setelah seorang pelukis mencipta seni selama, katakanlah, lebih dari 40 tahun, tentu saja kita bisa menilai apa dan bagaimana ciri dan gaya lukisannya, patungnya, keramiknya, atau grafisnya. Semua itu akhirnya bertalian dengan identitas (istilah Oesman Effendi pada 1969: ”capnya”), maka apa dan bagaimana identitas seorang seniman itu terbentuk? Siapa yang membentuk? Sejarawan seni, kritikus, atau masyarakat umum?
Jika kita kembali pada dua kubu tadi, sekurangnya, pembentukan identitas seorang seniman itu sebenarnya bisa diperkirakan. Pada yang pertama identitas seorang seniman hanya dan hanya jika terjadi dari performanya sendiri. Seniman modern membentuk dirinya sendiri. Ia adalah pusat dari daya pembentukan tersebut: independen, otonom. Karya-karyanya bukanlah karya anonim sebagaimana paradigma komunalisme-tradisionalisme. Kemodernan mencabut seni dari integrasinya dengan kehidupan, agama, dan budaya. Seniman modern menandatangani karyanya sebagai bukti otentik dan eksistensi dirinya. Pada kubu kedua, seniman ”dibentuk dan membentuk” (bersama-sama) nilai instrumental apakah itu moral, spiritual, atau kondisi sosial sekitarnya.
Pelukis S. Sudjojono
Kini kita cermati bagaimana, secara intrinsik, ”identitas” tersebut dipahami. Contoh kasus: Sudjojono. (1) Tanda tangan, S Sudjojono acapkali membubuhkan 2-4 sekaligus tanda tangan di satu lukisan. Ia memiliki dua macam tanda tangan: menuliskan namanya, S Sudjojono, dan SS.101/kota/titimangsa, misal SS.101/Jak(arta)/1978. (2) Narasi, S Sudjojono acapkali menuliskan penggalan narasi dalam lukisannya.
Narasi tersebut tidak selamanya berhubungan dengan apa yang ia lukiskan. Salah satu lukisan buket bunga mawar yang ia lukis, misalnya, malah dibubuhkan pandangannya terhadap situasi politik. Dari sini, dan diperkuat koleksi sketsa-sketsanya, kita tidak hanya bisa mempelajari ”cara S Sudjojono menulis” atau ”merangkai kalimat”, tetapi juga menganalisis ”cara dia berpikir dan mengungkap kepribadiannya”. (3) Kredo, setiap seniman umumnya memiliki kredo yang layak dijadikan dasar pijakan guna memahami karya ciptaan ataupun pemikirannya. Kredo ini sering kali diimplementasikan dalam sikap dia berkarya. Salah satu kredo S Sudjojono: ”Kebenaran nomor satu, baru kebagusan”. Implementasi kredo ini terlihat dari cara S Sudjojono menghampiri detail obyek yang ia lukis. (4) Analisis formal, kajian tentang ukuran, sapuan kuas (brush stroke), tekstur, warna (komplementer/kontras), garis kontur (tebal/tipis), garis (horizontal/vertikal/sirkular), medium (tinta/cat minyak), komposisi (simetris/diagonal), cahaya (kontras/gradasi/alamiah), bentuk, ruang, dan sebagainya.
Lukisan karya S. Sudjojono "Gerilya"
Lukisan S. Sudjono "Gembala Kambing"
Pada lukisan S Sudjojono yang cenderung menghadirkan ”kedalaman”, penting diperhatikan aspek-aspek yang ditimbulkan: overlapping, foreshortening, contour hatching, shading/modeling, relative position from the ground, dan perspectives. (5) Subject matter dan content, misalnya figur, alam benda, romantisme/revolusi, komentar sosial, rekaman keseharian, religi, lanskap, dan fantasi merupakan kecenderungan pokok dalam lukisan-lukisan S Sudjojono. Tidak seperti Affandi yang berulang kali melukis adu ayam jago atau Popo Iskandar dengan kucing, S Sudjojono nyaris tidak pernah menghampiri tema-tema seperti itu. (6) Dan ragam analisis lainnya. 
Metode . 
Sebagaimana dikatakan bahwa orisinalitas, otentisitas, dan otonomi merupakan trinitas dalam modernisme. Ketiganya bukan hanya kebutuhan, melainkan menjadi syarat mutlak dan tuntutan. Dalam seni, seorang seniman dituntut menemukan kebaruan, inovasi dalam ide, dan teknik media. Modernisme juga mementingkan otentisitas dan orisinalitas. Jadi, pengujian akan keaslian suatu lukisan adalah kebutuhan atau hasrat manusia modern. Celakanya, kemodernan di Indonesia sesungguhnya belum berlangsung. Ini terbukti dengan lemahnya infrastruktur sosial dan termasuk seni rupa di dalamnya—salah satunya pemanfaatan teknologi (laboratorium seni). Untuk kasus lukisan palsu—seperti yang sudah banyak disinggung oleh sejumlah pengamat—pemeriksaan keasliannya bisa dilakukan dengan uji laboratorium dan berdasarkan fakta- fakta sejarah.
Dalam situsnya, laboratorium Museo d’Arte e Scienza di Italia dengan gamblang menerangkan bagaimana pemeriksaan otentisitas lukisan bisa dilakukan. Diterangkan bahwa pendekatan yang berbeda untuk menentukan keaslian lukisan bisa dihampiri dengan memeriksa keaslian melalui evaluasi murni gaya, memeriksa keaslian lukisan dengan cara mengetes usia material, dan memeriksa keaslian lukisan dengan menggunakan metode instrumental ilmiah. Laboratorium ini menganalisis lukisan dengan memanfaatkan, antara lain, infrared reflectography, wood's light, a stereoscopic microscope, dan IR spectroscopy. Analisis mikroskopik, misalnya, digunakan untuk memeriksa tanda-tanda penuaan pada lapisan cat dan sifatnya (alam atau buatan), pigmen (kristalinitas, kemurnian, dan ukuran). Sementara analisis IR spectroscopy memungkinkan kita menganalisis berbagai bahan untuk memastikan kompatibilitasnya dengan periode sejarah.
Sementara analisis sejarah (faktor ekstrinsik) menekankan inventarisasi bukti-bukti historis berupa ingatan individu/komunal, catatan-catatan, dan sebagainya. Misalnya, ditemukan sejumlah bukti bahwa pada masa menjelang kedaulatan 1949, Indonesia terisolasi dari dunia luar. Pendeknya, lukisan dikerjakan di atas kain belacu dan kertas. Satu tube cat digunakan secara bergantian oleh seniman lain. Ukuran kanvas pada masa ini relatif kecil—kalaupun terdapat kanvas berukuran besar, kita akan mudah melihat adanya sambungan (jahitan). Bukti ini kita temukan pada lukisan ”Sekko” (S Sudjojono) dan ”Laskar Rakyat Mengatur Siasat” (Affandi) yang dilukis pada masa-masa itu.
Keduanya, baik sarana laboratorium maupun penulisan sejarah seni rupa Indonesia, masih sama-sama lemah. Perlu kiranya dukungan yang serius dari berbagai pihak, baik pemerintah maupun swasta, guna mendirikan institusi seni rupa yang mampu menjernihkan permasalahan dalam seni rupa Indonesia. Tanpa dukungan yang nyata, sebagai aset penting bagi identitas bangsa, seni rupa kita akan lenyap ditelan zaman dan kepentingan dari pihak-pihak tertentu. Dengan demikian, benda-benda seni rupa kita akan berhenti sebagai benda ”bersejarah yang sia-sia”.
)* Aminudin TH Siregar Dosen Seni Rupa ITB  
Tulisan ini pernah disampaikan dalam sarasehan ”Menyikapi Maraknya Lukisan Palsu di Era Ekonomi Kreatif”, Galeri Nasional Indonesia, 26 Juli 2012. 
Sumber :
Kompas Cetak
Editor :
Jodhi Yudono
"KARYA SISWA DAN GURU": Apresiasi Seni Rupa Untuk Guru dan Siswa:   Denmas Priyadi Blog Ç€ Rabu, 17 April 2013 Ç€ 07:26 WIB Seni, Identitas, dan Mendeteksi yang Palsu Oleh Aminudin TH Sireg...

Senin, 15 April 2013

Warta UN ( Ujian Nasional ) TP 2012/2013 Senin, 15 s/d 18 April 2013 TRIBUNNEWS.COM


Hari Pertama Ujian Siswa Tegang
Tribunnews.com - Senin, 15 April 2013 09:44 WIB
Mendikbud M Nuh dan Wakil menteri kebudayaan dan pendidikan Musliar Kasim (belakan) sebelum jumpa pres mundurnya Ujian Nasional di 11 Propensi, Jalan Sudirman, Senayan, Jakarta Selatan, Minggu (14/4/2013) .Ujian Nasional (UN) tingkat SMA/MA di 11 Provinsi yang seharusnya dilaksanakan Senin, 15 April, ditunda hingga Kamis, 18 April karena soal belum dimasukkan ke dalam amplop. (Warta Kota/Henry Lopulalan)

TRIBUNNEWS.COM, LAMPUNG - Hari pertama pelaksanaan Ujian Nasional (UN), beberapa siswa tampak tegang, Senin (15/4/2013). Berdasarkan pantauan Tribun Lampung (Tribunnews.com Network) di SMAN 1 Kotabumi, para siswa di awal ujian membolak-balikkan lembar ujian. Bahkan tak jarang posisi duduk mereka tidak tetap. Hal ini dikarenakan Ujian Nasional tahun ini soal sebanyak 20 macam, sehingga satu dengan lainnya berbeda.

Sementara di Bandar Lampung, Wali Kota Bandar Lampung Herman HN meninjau sejumlah sekolah di hari pertama Ujian Nasional (UN) siswa SMA/SMK. Bersama rombongan, Herman meninjau SMAN 5, SMKN 2, dan SMA Alkautsar. Ujian di sejumlah sekolah ini berlangsung tertib dan aman. Siswa dengan serius mengerjakan soal ujiannya masing-masing. Menurut Mardiana, guru di SMA Alkautsar, para siswa ujian mengerjakan 20 paket soal.(anung bayuardi/reni fitriani)



Penundaan UN Dinilai Sebagai Bencana Pendidikan
Tribunnews.com - Minggu, 14 April 2013 21:02 WIB
Laporan Wartawan Tribun Timur Edi Sumardi


TRIBUNNEWS.COM  MAKASSAR,  - Penundaan pelaksanaan Ujian Nasional atau UN di 11 provinsi di Indonesia, termasuk di Sulawesi Selatan menuai kecaman. Bahkan masalah ini dianggap sebagai bencana dalam pendidikan. Ada pula yang menggap masalah ini hanya karena percetakan tak mampu menyelesaikan pencetakan soal tepat waktu.

“Tapi dihubungkan dengan kebijakan otonomi daerah, soal pengelolaan anggaran dan lainnya, akan menjadi sangat kompleks masalahnya,” ujar Asisten Wakil Rektor III Universitas Muslim Indonesia Makassar, Zakir Sabara HW, Minggu (14/4/2013) malam ini.

Seharusnya pencetakan soal tak terpusat di Jakarta atau Surabaya. Menurut mantan aktivis tahun 1998 ini, jika mengacu pada otonomi daerah, seharusnya pencetakan soal dilakukan di daerah. Distribusi pun akan semakin mudah, murah, dan cepat tanpa mengabaikan kualitas. Pencetakan yang terpusat dinilai sarat dengan nuasa permainan proyek pemerintah.

“Apa memang sudah sedemikian parahnya orang daerah sehingga proyek mencetak naskah UN saja tidak dipercaya,” kata Zakir.

Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi diminta memeriksa pejabat Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan Nasional untuk menelisik adanya dugaan korupsi dan kolusi dalam proyek ini.(tribun-timur.com/edi)

Jelang Ujian Nasional, Makam Gus Dur Ramai Dikunjungi Pelajar
Tribunnews.com - Senin, 15 April 2013 03:28 WIB

Sejumlah siswa masih berpakaian pramuka berziarah ke makam Gus Dur, Minggu (14/4/2013)
 

Laporan Wartawan Surya, Sutono


TRIBUNNEWS.COM – Menjelang pelaksanaan Ujian Nasional (UN) bagi siswa SMA dan sederajat, makam mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di Kompleks Ponpes Tebuireng Jombang, banyak dikunjungi pelajar calon peserta Ujian nasional. Bahkan Minggu pagi (14/4/2013), atau hanya sehari menjelang UN yang bakal digelar mulai Senin (15/4/2013), puluhan pelajar tampak khusuk berdoa di pusara tokoh pluralisme tersebut. Ketenangan mental dan psikologis menghadapi UN menjadi alasan utama dari para siswa melakukan ritual doa di makam Gus Dur, sebelum hari H pelaksanaan UN.

Seperti diungkapkan Sofa Mabruroh, dari Madrasah Aliyah (MA) swasta di Kecamatan Diwek, Jombang. Siswi berjilbab ini mengatakan, berdasarkan pengalaman kakak kakak kelasnya, doa-doa yang dipanjatkan sebelum mengikuti ujian memberikan dampak positif.

“Belajar itu jelas. Kami ke sini untuk bertawasul kepada Gus Dur dan Mbah Hasyim (Pendiri NU KH Hasyim Asy'ari, Red) supaya diberi ketenangan saat mengikuti ujian. Kakak-kakak kelas kami dulu juga melakukan ini," katanya, Minggu (14/4/2013).

Pernyataan senada diungkapkan Sutiah, peserta Unas MA dari Kabupaten Lamongan. "Tujuan berdoa dan bertawasul ke Gus Dur ini agar kami tenang saat ujian dan tidak tegang. Belajar penting, berdoa juga penting," ujar dia.

Pengurus Ponpes Tebuireng, Tengku Azwani mengungkapkan, peningkatan pelajar yang berziarah ke makam Gus Dur ini terasa sejak seminggu lalu. “Paling ramai, terjadi pada Jumat dan Sabtu (12-13/4/2013) kemarin,” kata santri senior Ponpes Tebuireng asal Nangroe Aceh Darussalam tersebut.

UN tingkat SMA/SMK/MA sendiri dilaksanakan selama empat hari, mulai Senin hingga Kamis (15-18/4/2013). Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Jombang, Muntholib menyebutkan, jumlah peserta UN tahun ini mencapai 17.843 siswa. Jumlah itu terdiri dari pelajar SMA 5.532 anak, SMK 7464 serta MA 4.847 anak. "Ditambah dengan peserta ujian paket C 901 siswa serta 14 peserta dari SMA SLB," ujar dia.

Ramai-ramai Minta Maaf ke Orang Tua dan Guru Sebelum Ujian Nasional
Tribunnews.com - Senin, 15 April 2013 03:45 WIB

Petugas tengah memasang tanda peserta Ujian Nasional (UN) di Ruang Kelas SMAN 1 Jakarta, Minggu (14//4/2013). Seluruh siswa tingkat SMA dan sederajat akan melaksanakan UN pada Senin (15/4/2013). WARTA KOTA/ANGGA BHAGYA NUGRAHA 

Laporan Wartawan Surya, Sugiyono
TRIBUNNEWS.COM, GRESIK - Siswa SMA Muhammadiyah 4 Giri, Kecamatan Kebomas, Gresik, Minggu (14/4/2013) kemarin beramai-ramai meminta maaf kepada guru dan orang tua mereka. Para pelajar itu menggelar doa bersama di aula sekolah mereka, dengan maksud agar lancar menjalani Ujian Nasional.
Kegiatan doa bersama itu dilaksanakan untuk penguatan kepribadian mental siswa, dalam menjalankan Ujian Nasional yang berlangsung empat hari, mulai Senin sampai Kamis (15-18/4/2013). Diawali salat Ashar berjamaah bersama-sama guru dan wali murid, selanjutnya siswa bersalaman meminta maaf atas salah dan dosa mereka kepada orang tua dan guru selama sekolah.
"Orang tua tetap memberikan kasih sayang dan meminta maaf dengan memberikan doa agar ujian yang dianggap menakutkan bisa menjadi lancar dan ilmu yang didapatkan selama bersekolah bermanfaat," kata Erna Hidayati, Wakil Sekolah SMA Muhammadiyah 4 Giri, di sela-sela acara.
Suasana mengharukan diiringi isak tangis saat siswa-siswi bersalaman dan berpelukan dengan orang tua serta guru untuk meminta maaf. "Kegiatan ini untuk memberikan kelancaran dan membuka pikiran anak saat Unas besok," jelasnya.