Jumat, 12 April 2013

Anggaran Pendidikan Habis untuk Menggaji Gur

Anggaran Pendidikan Habis untuk Menggaji Guru
Ilustrasi sertivikasi guru (pakguru-ahmadur.co.cc )

Tribunnews.com - Jumat, 15 Maret 2013 15:17 WIB

Laporan Wartawan kotalive.com Gopis Simatupang

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Berdasarkan laporan terbaru Education Public Expenditure Review dari Bank Dunia (World Bank) di bawah pola pembiayaan pendidikan di Indonesia saat ini, porsi anggaran yang cukup besar dialokasikan untuk membayar gaji guru serta membiayai program sertifikasi guru. Hal itu dikatakan Mae Chu Chang, Spesialis Pendidikan Bank Dunia untuk Indonesia di Universitas Paramadina, Jakarta, Jumat(15/3/2013).

Mae Chu Chang adalah salah satu narasumber dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Institute for Education Reform (IER) Universitas Paramadina, kemarin, bekerjasama dengan Bank Dunia bertema "Kemana Arah Politik Pendidikan Nasional dengan Anggaran yang Terus Meningkat?"

Selain Mae Chu Chang, narasumber lain adalah Pedro Cerdan-Infantes, ekonom dari Bank Dunia; Satrio Soemantri Brodjonegoro, Guru Besar ITB dan mantan Dirjen Pendidikan Tinggi; serta Mohammad Abduhzen, Direktur Eksekutif IER Paramadina.

Sebagaimana diketahui, sejak reformasi terjadi, konstitusi mewajibkan negara untuk memprioritaskan anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBN dan APBD. Sejak ketentuan itu diimplementasikan pada 2009, kata Mae, di atas kertas anggaran pendidikan secara nasional dan perdaerah melonjak tajam. Namun, dibandingkan sebelumnya, besarnya anggaran itu sebenarnya tak jauh berbeda persentasenya. Sebagai ilustrasi, jelas Mae, anggaran pendidikan 2013 berjumlah Rp 331,8 triliun (20,01) persen termasuk pendidikan Kementerian Agama dan 18 kementerian atau lembaga lain, yang jika dikeluarkan bersama gaji guru, jadi hanya 9,8 persen dari APBN.

Mae mengatakan, anggaran yang dibutuhkan untuk membayar gaji guru meningkat tajam seiring dengan meningkatnya jumlah guru secara keseluruhan, dan jumlah ini terus meningkat meskipun Indonesia merupakan salah satu negara dengan rasio siswa-guru paling rendah di dunia. Meskipun program sertifikasi guru telah membantu memperbaiki kesejahteraan guru, bilang Mae, belum terlihat adanya bukti bahwa program sertifikasi ini lantas diikuti dengan semakin membaiknya performa siswa.

Sementara itu, lanjut Mae, menurut standar internasional, alokasi anggaran untuk pendidikan anak usia dini, jenjang pendidikan menengah ke atas dan perguruan tinggi di Indonesia masih tergolong rendah. Karena itu, kata Mae, pola pembiayaan yang berlaku saat ini tampaknya belum membawa dampak signifikan pada perbaikan kualitas pendidikan serta akses, pasca wajib belajar 9 tahun bagi siswa miskin.

"Laporan Bank Dunia itu merekomendasikan adanya realokasi sumber daya ke tingkat-tingkat pendidikan yang lebih tinggi serta program beasiswa siswa miskin, peningkatan dukungan dari pemerintah daerah ke sekolah-sekolah, serta perbaikan perencanaan anggaran, transparansi, dan akuntabilitas," tandasnya.
Mohammad Abduhzen menyatakan hal senada. Menurutnya, hasil akhir pendidikan seharusnya adalah tersedianya sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas.

"Pendidikan harus berdampak pada kualitas. Krisis moneter, ekonomi, politik, sumbernya bukan cuma ekonomi dan politik, tetapi juga krisis SDM," bilang Abduhzen di tempat yang sama.
Karena kualitas SDM yang rendah pula, kata Abduhzen, Indonesia susah pulih dari krisis. 

"Berbeda dengan Malaysia, Thailand, dan Filipina. Menteri Pendidikan seharusnya punya ideologi pendidikan, dia tahu apa yang harus dilakukan. Begitu jadi menteri dia tidak studi lagi tapi langsung melakukan," tuturnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar