Minggu, 31 Januari 2016

MENINGKATKAN DAYA APRESIASI SENI Oleh : Dwi Budiyanto

Forum Guru Seni Budaya
Minggu, 31 Januari - 10:36 WIB
Acustik 42 Band
Apa hubungan antara daya apresiasi seni terhadap kecerdasan kita? Ia berpengaruh terhadap optimalisasi otak kita, terutama pada wilayah yang berhubungan dengan imajinasi. Nancy Beal dan Gloria Bley Miller dalam The Art of Taeching Art to Children menyebutkan bahwa kegiatan seni sangat baik untuk mengembangkan kemampuan motorik halus anak-anak. Konsenstrasi, koordinasi, dan gerakan tangan anak pun terlatih. Tidak hanya itu, anak juga memperoleh pengalaman untuk mengembangkan daya visualnya.

Anne Reyner, M.A, dalam Seven Good Things for You to Know About How TheArts Help Children Grow, memaparkan bahwa seni dapat mengembangkan kemampuan dan kreativitas anak secara maksimal. Lebih lanjut Reyner menyatakan bahwa aktivitas seni melatih otak kiri dan kanan. Aktivitas seni akan merangsang otak kiri yang berhubungan dengan kemampuan membaca, menghitung dan pemecehan masalah. Secara bersama-sama aktivitas tersebut pun akan melatih otak kanan untuk mengembangkan kreativitas, intuisi, dan visualisasi. Karena itu, tingkatkanlah apresiasi seni anda.

Sejumlah pakar menjelaskan bahwa daya apresiasi seni yang dimiliki seseorang mampu mengorganisakan pola-pola neuron di seluruh otak, terutama yang berkaitan dengan kreativitas. Barangkali dalam hal inilah kita menemukan kaitan bahwa sebagian besar penemu-penemu besar, dalam potongan hidupnya, ditemukan kenyataan bahwa mereka merupakan apresiator seni yang baik. Tidak terkecuali para ulama dan cendikian Muslim. Bacalah buku-buku yang ditulis para generasi salafus-saleh. Anda akan menemukan untaian sajak yang berserak di dalam halaman-halamannya. Mereka menjadikan karya sastra sebagai pemantik semangat dan sumber inspirasi yang menggugah.

Sayangnya, selama ini bidang seni terkesampingkan. Sekian periode seni dalam Islam dipandang dari paradigma fikih yang tertutup dan kaku. Ia dianggap malalaikan dan cenderung sebagai bid’ah yang harus dijauhi.

Padahal, ketika peradaban Islam barada pada puncak kejayaannya, kesenian berkembang pesat. Ibnu Thufayl (wafat 1185 M) adalah seorang dokter, filosof, dan penulis novel-novel filsafat paling awal. Risalah Hary bin Yaqzan merupakan karyanya yang banyak dijiplak/diplagiat (termasuk oleh penulis Barat), tetapi jarang diakui. Karya-karya serial pertama dan ensiklopedi pertama sebenarnya bukan diprakarsai oleh Marshall Cavendish, tetapi oleh Ikhwan Ash-Shafa sekitar 983 M.

Jadi, segarkan pikiran Anda dan haluskan perasaan Anda dengan karya sastra yang bergizi. Umar bin Khaththab pernah menjelaskan, “’alimu aula dakum bisyâr.” Ajari anak-anakmu bermain syair. Membaca karya sastra mampu memperluas imajinasi sekaligus daya apresiasi kita. Pilihlah buku-buku sastra yang bergizi. Ia tidak hanya mencerdaskan kita͟͟—dengan beragam informasi yang dikemas dalam bentuk narasi—tetapi sekaligus juga mampu menghaluskan perasaan, memperluas perbendaharaan kata, dan melatih ketajaman tulisan kita.

Saya tuturkan sepenggal kisah Dr. Yusuf al-Qaradhawi dalam bukunya, “Perjalanan Hisupku”. Suatu saat dalam pelajaran insya (mengarang) beberapa teman-temannya merasa terheran-heran dengan gaya bahasa yang digunakan Yusuf al-Qaradhawi. Begitu pelajaran selesai salah seorang di antara mereka bertanya kepadanya.

“Yusuf, dari mana kamu mendapatkan gaya bahasa (uslub) seperti itu dan bagaimana kamu dapat menggunakan gaya bahasa yang bernilai sastra tersebut tanpa banyak berpikir sebelumnya?”
“Gaya bahasa yang aku kuasai itu,” jawab Qaradhawi muda, “merupakan hasil bacaanku bacaanku terhadap buku-buku sastra, dan tidak mustahil jika seseorang mau menguasainya, pasti ia akan bisa. Sesungguhnya  ilmu itu hanya akan diperoleh dengan cara belajar.”

Demikian kemampuan bahasa YusufQaradhawi terasah melalui sastra. Bahkan, konon Imam Syafi’i belajar bahasa dan sastra terlebih dahulu sebelem mempelajari ilmu fikih. Wallâhu a’lam.

Demikian pula dengan karya seni yang lain. Musik, misalnya. Ia mampu menenangkan pikiran dan tubuh. Perhatikan sifat naluri bayi yang sangat menyukai musik dan warna-warna. Musik mampu mengorganisasikan pola-pola dalam otak, terutama yang berkaitan dengan pemikiran kreatif. Para dokter mengemukakan teori bahwa musik mempunyai efek menenangkan dan merangsang produksi hormon endorfim ( hormon morfin yang diproduksi tubuh kita untuk menghilangkan rasa sakit dan menjadi obat penenang). Itulah sebabnya, sebagaimana dijelaskan Eko Laksono dalam bukunya Imperium III (Hikmah, 2005), rumah-rumah sakit di Cordova (pada masa kejayaan Islam di Spanyol) menyajikan pementasan musik Bgi para pasiennya.

Ketika sebagian besar ulama mengharamkan lukisan makhluk bernyawa, seniman muslim tertantang untuk berkarya secara kreatif. Yusuf Qaradhwi dalam Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur’andan Sunnah menjelaskan, “Dilarangnya melukis dan memahat (makhluk hidup) tidak menjadi penyebab terpuruknya dunia seni Islam. Bahkan menjadikan seni Islam memiliki ciri khas yang menarik dan memiliki keindahan tersendiri.”

Seni kaligrafi dan hiasan banyak dipergunakan untuk penulisan mushaf al-Qur’an dan ornamen di masjid-masjid, sebagaimana yang masih bisa dilihat di Masjid Nabawi, Masjid Qubbatus-Sakhrah (Palestina), Masjid Jami’ al-Umawi di Damaskus Syria, Masjid Sultan Ahmad dan Masjid as-Sulaimaniyah di Istambul Turki, Masjid Sultan Hasan dan Jami’ Muhammad Ali di Kairo dan masih banyak lagi masjid di seluruh penjuru dunia Islam yang lainnya.

Menggambar, melukis, dan aktivitas seni kriya lainnya meningkatkan sinapsis sesl-sel otak. Ketika melukis, Anda menggunakan banyak area di otak bagian belakang tempat korteks visual menyusun suatu gambar. Baik dengan kuas maupun pena, imajinasi-imajinasi akan keluar dari lokus-lokus memori. Melukis atau menggambar juga membentuk keseimbangan emosi serta mengaktifkan kreativitas. Ia juga bermanfaat bagi peningkatan kemampuan motorik halus bagi balita.

Jenis seni lain yang terkait dengan the movement arts (seperti seni bermain peran) memberi manfaat bagi keseimbangan antara emosi, gerak, dan irama musik. Radcliffe Elementary School (di Aken, South Carolina, Amerika Serikat) termasuk sekolah dasar tak populer di wilayahnya. Setelah pelajaran kesenian ditambah waktu dan isinya, sekolah itu mulai bernjak posisinya menuju sekolah unggulan. Tiga negara yang menduduki posisi puncak dalam matematika dan sains—Jepang, Hungaria, dan Belanda—pada sekolah dasar. Wallâhu a’lam.

Nah, cerdaskan diri dengan apresiasi seni!

Pustaka :
Dwi Budiyanto, Prophetic Learning, Pro-U Media, 2009, Yogyakarta
Ki Slamet 42
Kp. Pangarakan, Bogor – 10:15 WIB

Sabtu, 02 Januari 2016

BAGAIMANAKAH KITA BELAJAR?


Forum Guru Seni Budaya
Sabtu, 02 Desember 2015 - 06:15 WIB
 
Bagaimana Kita Belajar?
Ekspresi Seni Musik
Kesuksesan setiap individu dalam belajar sangat dipengaruhi oleh motif dan sikap yang melekat dalam diri individu pembelajar itu sendiri. Berkata Imam Malik, “Ilmu harus didatangi, bukan mendatangi!” Kalimat itu menegaskan bahwa setiap pembelajar harus memiliki tingkat motivasi yang tinggi dalam belajar. Sayangnya, kita selama ini belajar tanpa semangat dan motivasi yang kuat. Lihat aja ekspresi wajah sahabat-sahabat kita atau mungkin juga diri kita sendiri saat mengikuti diklat dan salah seorang pemberi materi diklat tidak hadir. Atau ketika para mahasiswa  perkulihannya kosong,  atau Siswa-siswi di kelas saat jam kosong karena gurunya tidak hadir mengajar karena sakit. Umumnya mereka merasa senang  dan bahagia bagai lepas dari suasana tegang yang menderanya, dan mereka bisa mengobrol kian kemari tanpa dibatasi oleh aktifitas yang bersifat formal.  Apakah ini menjadi cermin rendahnya motivasi kita dalam belajar?

Selain masalah motivasi, hal lain yang ditekankan Imam Malik kepada murid-muridnya saat mengajar di sebuah masjid adalah sikap ketika belajar. Belajar itu harus didasari pada  sikap positif, dan harus menghilangkan  kesombongan dalam diri. “Mereka tidak boleh melangkahi bahu jamaah dan bersedia duduk di posisi mana saja yang menurut mereka nyaman.”

Kisah Imam Malik di atas, mengingatkan saya pada tulisan Ustadz Mohammad Fauzil Adhim dalam bukunya “Membuka Jalan ke Sorga”. Beliau mengutip kata-kata Lorraine Monroe. Suatu waktu ia harus menangani siwa-siwa SMA dengan latar belakang dari keluarga berantakan (broken home), yang terbiasa dengan hidup dalam suasana yang penuh dengan kekerasan. Dia melakukan dua langkah:

1.                   Pertama, membangkitkan high level of expectation (tingkat harapan yang tinggi). Para siswa diberi motivasi agar mempunyai target, tujuan, dan cita-cita besar.
2.                   Kedua, meletakkan dasar keyakinan (belief) yang kuat sebagai penggerak melakukan pencapaian yang terbaik (the spirit of ekcellent).

Dari sikap Imam Malik dan penanganan Lorraine Monroe, kita temukan kaidah belajar: milikilah motivasi belajar terlebih dahulu sebelum belajar tentang teknik-tekniknya.  Motivasi yang kuat menunjukkan karakter yang kuat. 

Kita akan menyaksikan, anak-anak yang diaktifkan kemampuan kognitif terendahnya, yaitu menghafal, ternyata tidak memiliki percaya diri yang baik. Kita menemukan pula kelas-kelas yang terlalu padat dengan muatan materi ternyata sangat miskin motivasi. Kita pun menyaksikan bahwa lingkungan kita lebih mengagumi dan membanggakan prestasi kognitif, meskipun konsep tentang kecerdasan majemuk telah lama disampaikan.

Banyak pelajar dan mahasiswa kita menginginkan prestasi, namun sayang mereka tidak memiliki sikap prestatif. Mereka ingin jadi juara, tapi tanpa disadari justru mereka menceburkan diri dalam perilaku yang tak patut, seperti menyontek.  Perbuatan menyontek itu lahir dari keinginannya untuk berprestasi, tapi miskin sikap prestatif. Karena itu langkah yang diambil adalah langkah pragmatis. Nah, jika ini yang terjadi dalam diri kita maka sesungguhnya kita mengalami masalah dalam proses pembelajaran.

Alhasil, kita pun memendam banyak pertanyaan: mengapa ilmu yang kita pelajari di sekolah atau dipergurun tinggi, ternyata tidak memiliki efek dalam membentuk sikap hidup keseharian? Dalam sebuah seminar penelitian, saya berkesempatan bincang-bincang dengan seorang kandidat doktor di bidang psikologi. Saya melontarkan pertanyaan menggelitik, “Kenapa beberapa orang yang belajar psikologi belkum tentu memiliki sikap empati dalam pergaulan daripada mereka yang tidak mempelajarinya.” Beliau tertawa lalu mengatakan, “Kan psikologi untuk anda!” Tidak ada jawaban, tapi saya menyimpulkan betapa rumitnya persoalan ini.

Baiklah, kita ambil pertanyaan lain. Kenapa mereka yang belajar eksakta belum tentu menggunakan cara-cara ilmiah dalam memecahkan persoalan keseharian? Kenapa mereka yang belajar ilmu ekonomi tidak lebih gesit dalam berbisnis? Kenapa mereka yang belajar sastra tidak lebih kreatif daripada mereka yang tidak mempelajarinya secara formal? Dan, kenapa mereka yang belajar ilmu keislaman di sekolah dan perguruan tinggi Islam tidak lebih ‘Islami’ dibanding yang lain? Jadi, dalam hal ini kita menemukan jarak antara pengetahuan yang kita pelajari dengan pembbentukan pola pikir dan pola sikap keseharian kita.

Pustaka:
Dwi Budiyanto
Prophetic Learning (Menjadi Cerdas dengan Jalan Kenabian)
Pro U-Media, 2009,Yogyakarta

Bumi Pangarakan, Bogor
Sabtu, 02 Januari 2016 – 06:15 WIB