Forum Guru Seni Budaya
Sabtu, 02 Desember 2015 - 06:15 WIB
Ekspresi Seni Musik |
Selain masalah
motivasi, hal lain yang ditekankan Imam Malik kepada murid-muridnya saat
mengajar di sebuah masjid adalah sikap ketika belajar. Belajar itu harus
didasari pada sikap positif, dan harus
menghilangkan kesombongan dalam diri. “Mereka
tidak boleh melangkahi bahu jamaah dan bersedia duduk di posisi mana saja yang
menurut mereka nyaman.”
Kisah Imam Malik di
atas, mengingatkan saya pada tulisan Ustadz Mohammad Fauzil Adhim dalam bukunya
“Membuka Jalan ke Sorga”. Beliau
mengutip kata-kata Lorraine Monroe. Suatu waktu ia harus menangani siwa-siwa
SMA dengan latar belakang dari keluarga berantakan (broken home), yang terbiasa dengan hidup dalam suasana yang penuh dengan
kekerasan. Dia melakukan dua langkah:
1.
Pertama, membangkitkan high level of expectation (tingkat
harapan yang tinggi). Para siswa diberi motivasi agar mempunyai target, tujuan,
dan cita-cita besar.
2.
Kedua, meletakkan dasar keyakinan (belief) yang kuat sebagai penggerak
melakukan pencapaian yang terbaik (the
spirit of ekcellent).
Dari sikap Imam Malik
dan penanganan Lorraine Monroe, kita temukan kaidah belajar: milikilah motivasi
belajar terlebih dahulu sebelum belajar tentang teknik-tekniknya. Motivasi yang kuat menunjukkan karakter yang
kuat.
Kita akan menyaksikan,
anak-anak yang diaktifkan kemampuan kognitif terendahnya, yaitu menghafal,
ternyata tidak memiliki percaya diri yang baik. Kita menemukan pula kelas-kelas
yang terlalu padat dengan muatan materi ternyata sangat miskin motivasi. Kita
pun menyaksikan bahwa lingkungan kita lebih mengagumi dan membanggakan prestasi
kognitif, meskipun konsep tentang kecerdasan majemuk telah lama disampaikan.
Banyak pelajar dan
mahasiswa kita menginginkan prestasi, namun sayang mereka tidak memiliki sikap
prestatif. Mereka ingin jadi juara, tapi tanpa disadari justru mereka
menceburkan diri dalam perilaku yang tak patut, seperti menyontek. Perbuatan menyontek itu lahir dari
keinginannya untuk berprestasi, tapi miskin sikap prestatif. Karena itu langkah
yang diambil adalah langkah pragmatis. Nah, jika ini yang terjadi dalam diri
kita maka sesungguhnya kita mengalami masalah dalam proses pembelajaran.
Alhasil, kita pun
memendam banyak pertanyaan: mengapa ilmu yang kita pelajari di sekolah atau
dipergurun tinggi, ternyata tidak memiliki efek dalam membentuk sikap hidup
keseharian? Dalam sebuah seminar penelitian, saya berkesempatan bincang-bincang
dengan seorang kandidat doktor di bidang psikologi. Saya melontarkan pertanyaan
menggelitik, “Kenapa beberapa orang yang belajar psikologi belkum tentu memiliki
sikap empati dalam pergaulan daripada mereka yang tidak mempelajarinya.” Beliau
tertawa lalu mengatakan, “Kan psikologi untuk anda!” Tidak ada jawaban, tapi
saya menyimpulkan betapa rumitnya persoalan ini.
Baiklah, kita ambil
pertanyaan lain. Kenapa mereka yang belajar eksakta belum tentu menggunakan
cara-cara ilmiah dalam memecahkan persoalan keseharian? Kenapa mereka yang
belajar ilmu ekonomi tidak lebih gesit dalam berbisnis? Kenapa mereka yang
belajar sastra tidak lebih kreatif daripada mereka yang tidak mempelajarinya
secara formal? Dan, kenapa mereka yang belajar ilmu keislaman di sekolah dan
perguruan tinggi Islam tidak lebih ‘Islami’ dibanding yang lain? Jadi, dalam
hal ini kita menemukan jarak antara pengetahuan yang kita pelajari dengan
pembbentukan pola pikir dan pola sikap keseharian kita.
Pustaka:
Dwi Budiyanto
Prophetic Learning
(Menjadi Cerdas dengan Jalan Kenabian)
Pro U-Media,
2009,Yogyakarta
Bumi Pangarakan, Bogor
Sabtu, 02 Januari 2016 – 06:15 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar