SLAMET ABDUL SYUKUR
(Komponis
dan pengajar musik)
SLAMET ABDUL SYUKUR |
Belajar
musik tidak otomatis untuk mempersipakan
diri menjadi pemusik , sama juga halnya dengan orang belajar matematika , tidak
semua bertujuan menjadi ahli matematika. Tapi bagaimana mereka dapat
mendisiplinkan diri sampai pada keperluan sehari-hari mereka, misalnya
babagaimana mereka dapat mengatur atau me”manage”
waktu untuk belajar, istirahat, makan, tidur dan lain sebagainya.
Begitu pula dalam
memperlajari musik, disini tidak dituntut untuk kesenangan belaka, tapi juga
menjadikan anak sehat jasmani dan cerdas begitu pendapat beliau. Sebagai contoh
Anak–anak yang belajar bernyanyi secara berkelompok (koor/paduan suara) mereka
ditutut untuk fokus juga konsen pada lagu yang mereka bawakan,
tapi yang lebih penting adalah bagaimana mereka dapat bernyanyi dengan tidak
menonjolkan dirinya sendiri . Apalagi pada paduan suara polifoni ,
masing-masing suara punya jalurnya sendiri dan sekaligus saling melengkapi.
Semua harus bisa mendengarkan suara penyanyi satu dengan yang lainnya inilah
yang dinamakan kebersamaan. Ringkasnya pendidikan musik seperti itu yang
membuat kita sehat, cerdas dan punya rasa kebersamaan.Tujuannya sama dengan apa yang menjadi cita-cita tokoh pendiri/
pendahulu bangsa Indonesia yaitu: menjadikan manusia seutuhnya.
Sekarang beliau
juga mengajar program pasca sarjana di STSI Solo, selain mengajar di sekolah
privat di Surabaya juga di Jakarta. Ini tidak lantas hanya perguruan tinggi
yang mampu menghasilkan seniman bermutu. Legitimasi tidak pernah dapat
mereduksi sesuatu yang hidup. Sebagai pengasuh juga pendidik sudah semestinya
kita sebisa mungkin membantu mereka menemukan dirinya sendiri, dan bukan
mendiktenya.
Beberapa
permasalahan yang dikumpulkan oleh Slamet Abdul Sjukur, diantaranya adalah:
- "
Latihan membuat musik sependek
mungkin ( 12 detik) dan sebagus mungkin". Ini masalah efisiensi: "bagaimana
seniman dapat memikat hati dalam waktu yang sangat terbatas?"
- "Latihan membuat musik sepanjang
mungkin ( 20 menit) tanpa ada sesaatpun yang membosankan. Atau kalau bisa,
seniman malah membuat pendengarnya sampai jatuh dalam “trance”. Seberapa kuat
kemampuan komponis menyampaikan gagasan?"
-
Belajar dari benda sumber bunyi,
dan bukan dari gagasan. Tujuannya adalah untuk menghormati potensi bunyi yang
sudah ada namun tersembunyi atau kurang di tanggapiSemua
itu mungkin sudah dialami para komponis, sekalipun mungkin tidak disadari. Oleh
karena itu permasalahannya secara khusus dengan disertai cara untuk
mengalaminya sendiri, Kecerdasan sejati
berbeda dengan kecerdasan yang hanya mengandalkan logika, menangkap persamaan tersamar antara yang berguna dan yang menyenangkan.(Joko
Novarianto, S.Sn)
RETNO MARUTI
(Penari dan
penata dalam tari tradisi Jawa Klasik)
RETNO MARUTI |
Sejak tahun
1980-an kondisi ini mulai surut, khususnya kerinduannya untuk bisa tampil dan
eksis dalam seni tradisinya. Juga pada era ini sampai tahun 1990-an , situasi
semakin berubah. Mereka tidak banyak punya pilihan untuk tampil sekarang. Ada
Graha Bhakti Budaya, tapi seniman muda tidak berani tampil disana karena
penontonnya banyak. Sponsor harus berani mendukung. Faktor kesulitan ini
dialami banyak seniman. Dan tergantung dengan bagaimana pintar-pintarnya
seniman tadi dalam mengelola sebuah event pementasan. Menurut beliau pada tahun
1990-an serasa banyak sekali ataupun mungkin hampir semua grup-grup yang
tergolong dalam pementasan ini vacuum dan sedikit sekali yang masih ingin tampil.
Retno Maruti-pun memulai pementasan karyanya di tahun 1997, dengan dorongan
dari banyak pihak.
Menurutnya
karya-karya yang dibuatnya harus
berbobot, dengan garapan yang serius- bukan hanya sekerdar hiburan. Jadi yang
ditampilkan harus pure art ( seni
murni) namun juga tidak meninggalkan sisi-sisi yang dipertimbangakan karena ini
adalah seni tradisi yang tidak bisa ditampilkan sembarangan. Tujuannya adalah
kepuasan semua pihak. Seni seharusnya bermanfaat, untuk yang membuatnya, yang
melaksanakan dan yang menontonnya. Bila seni tidak bermafaat, itu pemborosan-
hanya membuang-buang uang.
Menurutya saat
ini ada beberapa perubahan yang terjadi dalam berkembangnya proses berkesenian :
- Pertama: Perubahan dalam sisi
waktu, misalnya dahulu kita sering lihat pementasan dengan durasi waktu yang
panjang (3 sampai 4 jam) kini bisa menjadi 1-2 jam saja. Tapi tidak berarti
artinya dihilangkan- bukan main potong saja ada kaidah-kaidah sendiri
-
Kedua: Perubahan dalam kostumnya,
kostum menjadi lebih sederhana, tapi tidak merubah nuansa yang tradisional
dengan kaca mata modern. Termasuk segi make-up,
panggung dan lainnya.
- Ketiga: Perubahan pada sistem
manajemen, dulu mereka hanya berperan sebagai penari sekarang mereka berperan
sebagai penyelenggara. Tapi
memang konsekuensi dari perubahan ini adalah pembagian energi. Idealnya ada
staf produksi tersendiri, dan dan dibidangnya.
Cara berfikirnya
sekarang harus dapat membuka diri; tarian nya tetap mengikuti zaman asal tetap
mempertahankan estetikanya, asal kita masih punya jati diri, ungkapnya. Dalam
era globalisasi , semua harus da bisa tumbuh. Kalau tradisi mau tumbuh,
silahkan begitu juga yang modern. Jadi tidak perlu memperuncing jarak antara
yang tradisinal dan yang modern. Intinya pembaruan itu harus positif
jangan sampai mengurangi nilai artistiknya. Jika merusak itu bukan pembaruan.(Joko
Novarianto, S.Sn)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar