Slamet Priyadi |
Forum Guru Seni Budaya - Senin, 24 Maret 2014 10:49 WIB - Dalam referensi sosiologi musik, kita mngenal musik gereja Katolik dan musik gereja Evangelis. Untuk mengetahui lebih jauh suasana kedua musik gereja tersebut, mari kita menganalisanya secara ringan-ringan saja.
Musik Gereja
Katolik
Setiap penciptaan musik tentu
mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang melatarbelakangi suasana jiwa musik itu
sendiri. Begitu pula musik gereja Katolik mempunyai tujuan dan cita-cita
khusus. Hal itu ditentukan oleh hubungan liturgi. Intinya yang utama adalah
suatu kultus musik bersuasanakan pengorbanan maut Almasih, untuk menebus dosa
umat manusia. Musik dalam gereja itu mustahil dijadikan tujuan khusus. Mustahil
adanya tujuan tersendiri, seperti pada musik duniawi. Musik gereja semata-mata
mengabdikan diri kepada inti kultus kematian juru selamat. Oleh karena sifat
itu, akhirnya musik menjadi “agama” itu sendiri.
Dalam perkembangan ciptaan untuk
misa, yang memberi arah ialah doa: Kyrie,
Gloria, Credo. Sanktus Bendiktus dan Agnus Dei. Pada perkembangan motet, yang
menemukan ialah: naskah dari Introitus, Graduale, Ofertorium dan Komunie. Dan sendi-sendi utama segenap
ciptaan itu naskah-naskahnya masih tetap berdaulat. Tiap penguasaan oleh musik
dianggap sebagai penindasan terhadap liturgi. Musik boleh nomor dua, tiga, atau
empat, tetapi sekali-kali tidak boleh nomor satu.
Apabila sampai sekarang para
“mahaempu” musik dunia masih memakai naskah liturgi itu juga sebagai pendukung
musik mereka, tidak lain disebabkan oleh bentuk naskah itu, prosa maupun puisi,
yang mempunyain nilai keindahan utama. Sebagai contoh: Hohe Messe (Bach), Missa
Solemis (Beethoven), Requiem (Berlioz), Messe
F-kecil (Ruckner). Ditinjau dari sudut kesenian yang berdaulat, ciptaan ini
adalah masterpieces, masterwerken. Sekali
pun demikian, ciptaan itu berpangkalkan liturgi. Lagi pula ciptaan itu harus
diperdengarkan di dalam gedung gereja. Pertunjukan di dalam ruang konser
dianggap suatu profanasi yang nista.
Nyanyian koral melukiskan
nyanyian sembahyang atau doa yang dinyanyikan
oleh umat sendiri. Kita mengetahui dalam sejarah bahwa bilamana keutamaan
naskah liturgi itu hendak ditindas oleh musik, maka dengan segera timbul protes
dan pemimpin gereja didesak untuk melarangnya.
Perkembangan berbanyak suara yang
mempergunakan polifoni pada naskah menunjukkan suatu perpustakaan yang luas,
berisikan Misa dan motet. Dalam teknik polifoni terdapat suatu penggunaan
naskah yang berlainan, sehingga pertalian dan arti kata dikaburkan oleh
pelaksanaan suara itu. Karena protes terhadap cara yang mengaburkan itulah maka
diadakan Konsili Trente pada zaman kardinal Booromeo. Dalam konsili itu ditolak
mempergunakan cara banyak teks tadi, serta dilarang pula mempergunakan naskah
nyanyian duniawi dalam komposisi Misa. Serentak ditetapkan pula syarat-syarat
agar setiap naskah yang dipergunakan dapat dengan mudah dipahami.
Salah satu yang menjadi titik
berat lagi dalam musik gereja ialah, aktivitasnya sekitar altar, tepat di
tengah-tengah hadirin. Nyanyian yang sukar dinyanyikan oleh anggota Schola
Cantorum, dengan para solis. Dan seluruh kerohanian akhirnya terpusat pada
aktivitas di altar.
Musik Gereja
Evangelis
Dalam musik gereja Evangelis ini,
liturgi khotbah juga yang menjadi pokok dan liturgi itu sendiri berhubungan
dengan ajaran gereja, dan kepercayaan agama. Dengan demikian nasib gereja sama
dengan nasib musik gereja, jatuh bangun bersama gereja, dan agama. Kejayaan dan
kelumpuhan gereja tercermin pada nyanyian-nyanyiannya. Dan sumber tiap usaha
pembaharuan yang kini terdapat pada gereja, agama dan musik gereja, hanya satu
yaitu: “reformasi”, yang berpusat kepada pesan Luther. Ajaran Martin Luther
khusus berpangkalkan kepercayaan.
Juga dalam musik terdapat protes
dan penolakan. Pada Misa terdapat perlakuan suci yang diselesaikan oleh para
pendeta, imam, suatu “pengulangan tidak berdarah” perngorbanan di Goldotha.
Segala sesuatunya pasti, dan ditetapkan: upacaranya, kata dan gerak serta
ornat-ornat angkatan. Begitu pula ditentukan kerangka musik khotbahnya. Dalam
ketelitian yang diatur itu fungsi musik tidak lebih dari perhiasan; hanya
memberi ikatan atau iringan pada semua perlakuan suci dalam bentuk selingan kor
yang himnis.
Pemberontakan reformasi
diantaranya adalah pengertian khotbah agama itu. Hanya kepercayaanlah yang
membuat pembaptisan menjadi sakramen. Dan hanya kepercayaanlah yang mampu
membuat nyanyi dan sembahyang suatu kebaktian abdi Tuhan. Menciptakan musik itu keramat, sakti dan suci.
Musik yang hanya seni musik
semata, tidak akan mampu mengharapkan pengampunan. Kunci kepercayaan beragama
adalah satu-satunya untuk perumusan musik gereja atau musik agama.
Kriterium kegerejaan atau
keagamaan Kristen, dan kegerejaan baru didapatkan jika musik agama dilahirkan
oleh kepercayaan beragama, pengakuan dan pengabdian. Dan yang disebut nyanyian
Lutheran adalah koral Evangelis yang biarpun sudah mempunyai bentuk pendahuluan
pada zaman tengah, namun sampai kini masih merupakan pusat yang baru, karena
tujuan hidup, segi kepercayaan dan bakti dalam beragama. Dan itu pun khusus
untuk musik vokal, dalam hal ini terdapat kepaduan antara kata-kata naskah dan
perlakuan dengan cara istimewa pada musik gereja: dalam kerterikatan kata.
Berkenaan dengan keadaan di
Indonesia umumnya, nama-nama seperti Cornel Simanjuntak atau Tjoh Shinsu di
sekitar musik gereja Protestan (Simanjuntak) dan khusus Protestan (Shinsu),
dapat digambarkan sebagai berikut:
Yang terdapatdi gereja ialah nyanyian agama yang berbanyak suara.
Dinyanyikan pada naskah kitab injil. Caranya ialah not pada not atau ”not lawan
not”.
Suatu suasana musik gereja atau
musik agama, langsung atau tidak langsung, tidak dapat ditemukan dalam
komposisi Simanjuntak atau Shinsu. Cita-cita mereka khusus hendak ikut
menyambung, tatkala musik di Indonesia mulai berkembang. Bukan musik
kerohanian, gereja atau agama, tapi khusus duniawi, profan. Pendeknya yang
disumbangkan mereka ialah musik seni dan bukan pemeriahan suatu khotbah.
Mentalitas dan kesadaran musikal mereka jauh dari taraf musik gereja atau agama.
Musik bagi mereka aadalah tujuan terutama, bukan nomor dua, tiga, atau empat,
tapi nomor satu, primer.
Sumber :
Amir Pasaribu, Analisis Musik Indonesia
Posted :
Slamet Priyadi
Bumi Pangarakan, Bogor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar