Forum Guru Seni Budaya - Jumat, 02 Januari 2015 - 15:36 WIB
Pentas Wayang Kulit |
Penetapan judul di atas mengisyaratkan
pendirian bahwa yang tradisional itu harus dikembangkan. Maka apa yang tertera
di bawah judul itu secara formal merupakan satu pengungkapan dari pendirian tersebut. Karena itu sebelum melangkah lebih jauh,
perlu lebih dahulu dipersoalkan:
benarkah seni pertunjukan tradisional Indonesia harus dikembangkan?
Karena pengembangan adalah pengertian
yang menyangkut tujuan tersebut, maka segala pemikiran dan saran akan selalu
disorotkan pada layar kemungkinan, artinya ia tidak akan dikemukakan
semata-mata sebagai masalah pemikiran. Sehubungan
dengan itu, tinjauan di bawah adalah suatu pembiaraan mencari gambaran keadaan,
dengan tujuan memandang ke depan, lebih daripada tinjauan kesejarahan.
A.
BEBERAPA
DASAR PIKIRAN
1.
Yang
tradisional dan yang tidak
Secara
gampang, predikat tradisional bisa diartikan:
segala yang sesuai dengan tradisi, sesuai dengan kerangka pola-pola
bentuk maupun penerapan yang selalu berulang.
Sedangkan yang tidak tradisional adalah yang tidak terikat pada kerangka
apa pun. Tetapi apabila kita menghadapi
karya-karya seni pertunjukan yang nyata, tidak selalu mudah untuk menentukan
karya tersebut tradisional atau tidak.
Misalnya saja dua contoh yang dapat disebutkan di sini, yaitu Darmawulan garit, produksi Jaya Budaya –
tahun
1972 yang “dimesteri oleh
Sadono W. Kusumo dan Topeng Gambuh
Jelantik Bogol, produksi Rasa – PKJ
tahun 1973 yang “dimesteri” oleh I Wayan Diya. Kedua pertunjukan tersebut
memakai bahan baku dari perbendaharaan kesenian daerah , asing-masing Jawa dan
Bali, seperti yang telah dicontohkan secara turun-temurun, misalnya dalam
pemakaian bahasa, tembang-tembbang, dialog dan gerak-gerak tari, tetapi di
sana-sini dimasukkan unsur-unsur yang ‘tidak biasa’, baik dalam hal bentuk maupun penerapan.
Darmawulan ngarit adalah satu
cerita historis-legendaris Jawa yang telah ditulis dalam bentuk sastra dan
telah dikenal secara turun-temurun, yang biasanya dipertunjukan sebagai wayang
kucil, atau sebagai ‘langendriyan’ jika
manusia yang melakukan peran-perannya. Dalam ‘langendriyan’
semua dialog dinyatakan dalam nyanyian (tembang), dan semua peran ditarikan
dalam watak-watak tari yang pasti.
Adapun dalam produksi Jaya Budaya tersebut di atas beberapa kebiasaan
diubah.
Nyanyian santiswaran yang diasosiasikan sebagai
kesenian santri dan tidak pernah berhubungan dengan pementasan wayang itu, kini
dimasukkan ke dalam Damarwulan garit yang
dalam garis besarnya bercorak pertunjukan
Dialog
dinyatakan dalam bentuk tembang maupun percakapan biasa. Watak tari pada beberapa peran dipertahankan
seperti biasanya diungkapkan, sedang pada peran-peran selebihnya diberikan
penafsiran baru, dengan corak gerak maupun cara laku yang lain dari biasanya. Pertunjukan tidak disajikan terpisah dari
penonton melainkan di tengah-tengah dan menyerbu penonton. Dua dengan sebagai contoh bisa dilukiskan
berikut ini.
Pertama adegan suasana desa di mana Damarwulan
menjalani nasibnya. Dia ikut dalam
kehidupan desa: adegan garit, taufan, dan lain-lain yang tidak diceritakan. Pada taufan ini lèdèk-lèdèk menari-nari, berkeliling, mendekati penonton, sementara
seorang penjual jamu mengambil kesempatan berpindah=pindah tempat melariskan
jualannya. Semua laki-laki yang ada Ayub dengan lèdèk-lèdèk tersebut, kadang-kadang mereka
saling berebut, sedang beberapa penonton ikut menari bersama mereka. Beberapa pasangan melepaskan diri dari
kawan-kawannya, menari di tengah-tengah penonton. Teater pada waktu itu benar-benar menjadi
arena taufan. Suasana seperti ini baru
putus dengan munculnya Anjasmara untuk bertemu dengan Damarwulan.
Kedua adalah adegan pemunculan sampai dengan matinya
Menakjingga. Ia sama sekali tidak
memperagakan kiprah seperti yang lazimnya diperagakan oleh Menakjingga ataupun
raja-raja Sabang pada umumnya dalam tradisi wayang orang, melainkan ia berjalan
pincang mondar-mandir-mandir sambil menenteng seuntai peluru, dan bicara kepada
diri sendiri dan dengan para ponggawanya tentang kebagusan rupa, kesaktian
dirinya dan keyakinannya akan
mendapatkan Kencanawungu. Ada saatnya ia
menari bersama Dayun dalam komposisi yang terkadang tidak mirip sama sekali
dengan tari Jawa. Ia menari ke
sana-kemari diiringi terus oleh Dayun yang membawa payung kerajaan, yang selalu
menempatkan diri lebih rendah daripada sang raja; kemudian Aan raja tiduran;
capek menjadi raja, maka sipembawa payung pun bingung untuk menempatkan dirinya
lebih rendah lagi. Adegan berikut adalah
peperangan yang didahului oleh datangnya musuh yang menyerukan tantagan dari
antara penonton.
Seperti halnya Damarwulan ngarit tersebut, Jelantik
Bogol pun digarap semacam itu oleh I Wayan Diya, dengan beberapa perbedaan
seperti adanya di sini pemisahan penonton dengan tontonan, serta tidak adanya
Taian yang sama sekali keluar dari sikap dasar tari Bali. Wayan Diya lebih menekankan pada kebebasan
penggunaan unsur-unsur, yang semula terkotak-kotak dalam jenis-jenis pementasan
yang berbeda-beda seperti topeng, Gambuh, Arja, Baris dan lain-lain. Ia mengadakan percobaan lebih banyak dalam
menyusun musik pengiringnya, di mana ia mengadakan penggabubgab-penggabungan
yang tidak lazim, yaitu gong gebyar yang
terbatas, dengan Tektekan, Tambur Baris Cina serta gending Pleganjuran.
Kedua
ilustrasi tersebut di atas menunjukkan bahwa sesungguhnya untuk menyebut satu
pertunjukan tradisional atau tidak, perlu dibedakan dataran-dataran
wilayahnya: apakah yang dimaksudkan
unsur-unsur dasarnya, ataukah gumpalan unsur-unsur yang tetap, atau pula
konvensi penyajian Noya. Atau
ketiga-tiganya.
2.
Mengembangkan
yang tradisional
Istilah
mengembangkan lebih mempunyai konotasi kuantitatif daripada kualitatif; artinya
membesarkan, meluaskan. Dalam
pengertiannya yang kuantitatif itu, mengembangkan seni pertunjukan tradisional
Indonesia berarti membesarkan volume penyajiannya, meluaskan wilayah
pengenalannya. Tetapi ia juga harus
berarti memperbanyak tersedianya kemungkinan-kemungkinan untuk mengolah dan
memperbarui wajah, satu usaha yang mempunyai arti sebagai sarana untuk
timbulnya pencapaian kualitatif.
Kualitas satu karya`seni pertama-tama ditentukan oleh lahir atau tidaknya
seniman yang mengerjakannya, halmana tergantung pada perkenan alam untuk
memunculkan mutiara-mutiaranya. Namun
tidak kurang penting adalah usaha-usaha untuk menciptakan kondisi sehingga
mutiara-mutiara itu bisa muncul dan bisa dilihat. Dalam artinya yang terakhir inilah maka
mengembangkan seni tradisional mengandung nilai terbesar. Usaha perluasan haruslah dipandang sebagai
usaha penyiapan prasarana, sedang tujuan terakhir adalah memperbesar
kemungkinan berkarya dan membuat karya-karya itu berarti bagi
sebanyak-banyaknya anggota masyarakat.
Untuk
mengatakan “mengembangkan kesenian tradisional” dan bukan memupuk pertumbuhan
kesenian”, mengandung pengertian bahwa yang tradisional harus
dipertahankan. Betulkah ia harus
dipertahankan? Dengan alasan
apakah? Apakah mempertahankan yang
tradisional harus berarti membuat kehidupan kesenian yang bersangkutan sebuah
museum agung?
Berbagai corak masyarakat pendukung
tradisi-tradisi kesenian terdapat di Indonesia.
Maka mempertahankan seni pertunjukan tradisional berarti mempertahankan
konteksnya yang berbagai ragam itu dan mengembangkan seni pertunjukan berarti
pula mengembangkan berbagai konteks tersebut.
Mengembangkan konteks ini Bisan mengikuti dua kemungkinan arah: memuja kesatuan dan keseragaman, atau mempertahankan
keserbaanekaan. Alternatif pertama bisa menuju pada kemandulan, alternatif
kedua mengakibatkan tidak relevannya mempertahankan identitas nasional di
bidang seni pertunjukan tradisional Indonesia.
Membicarakan
soal mengembangkan berarti memikirkan adanya pelaku yang menjalankan pimpinan
dalam pekerjaan mengembangkan tersebut.
Maka harus menjadi persoalan apakah pemimpin itu seseorang atau suatu
lembaga, apakah pemimpin itu menjalankan perannya sebagai penyuruh, pengusaha,
pelindung atau penganjur. Sudah tentu
ini tergantung pada bermacam kebutuhan:
kebutuhan konservasi ataukah penciptaan, kebutuhan keagamaan atau hiburan,
kebutuhan desa atau kota, kebutuhan anak-anak atau orang dewasa dan
seterusnya. Maka dalam mengembangkan
seni pertunjukan seni tradisional ini, pihak yang memimpin harus senantiasa
sadar akan peran-peranan khususnya, di samping harus waspada pula akan
kemungkinan adanya kekaburan batas-batas sebagai sebagai satu keadaan yang
positif. Untuk mendudukkan seni dan
seniman dalam tempatnya yang paling berarti adalah tugas dari dia yang
mengembangkan. Apakah dengan demikian
seniman hanya berfungsi sebagai obyek
dalam usaha pengembangan?
3.
Konteks
seni pertunjukan di Indonesia
Seni
pertunjukan di Indonesia berangkat dari suatu keadaan di mana ia tumbuh dalam
lingkungan-lingkungan ethnik yang berbeda satu sama lain. Dalam lingkungan-lingkungan ethnik ini, adat, atau kesepatan berama
yang turun-temurun mengenai perilaku, mempunyai wewenang yang amat besar untuk
menentukan rebah-bangkit nya kesenian, seni pertunjukan pada pertunjukan. Peristiwa keadatan merupakan landasan eksistensi yang utama bagi
pegelaran-pegelaran atau pelaksanaan-pelaksanaan seni pertunjukan. Seni pertunjukan, terutama yang berupa
tarian-tarian dengan iringan bunyi-bunyian, sering merupakan pengemban dari
kekuatan-kekuatan magis yang diharapkan hadir, tetapi juga tidak jarang
merupakan semata-mata tanda syukur pada terjadinya peristiwa-peristiwa
tertentu. Beberapa fungsi seni
pertunjukan dalam lingkungan-lingkungan ethnik
di Indonesia dapat disebutkan sebagai berkut:
—
pemanggil kekuatan gaib;penjemput roh-roh
pelindung untuk hadir di tempat pemujaan;
—
memanggil roh-roh baik untuk mengusir roh-roh
jahat;
—
peringatan pada nenek moyang dengan menirukan
kegagahan maupun kesigapannya;
—
pelengkap upacara sehubungan dengan peringatan
tingkat-tingkat hidup seseorang;
—
pelengkap upacara sehubungan dengan saat-saat
tertentu dalam perputaran waktu;
—
perwujudan daripada dorongan untuk mengungkap
keindahan semata.
Di atas kondisi dasar yang berbagai
ragam itu datang selapis pengaruh yang sama berupa suatu sikap untunk
menganggap bahwa kesenian adalah kegiatan duniawi semata, dengan masalah
keindahan sebagai titik panggal yang tunggal.
Sikap ini, apabila diproyaksikan atas latar belakang kesenian-kesenian
daerah, sering dianggap pula sebagai sikap nasional. Anggapan yang demikian itu belum sama sekali
tepat. Kita belum pernah mengkaji, apa
sebenarnya “kelipatan persekutuan kelipatan terkecil” dari sejumlah besar
keragaman watak dari perwujudan-perwujudan kesenian di Indonesia. Suatu sikap mempersembahkan dalam berolah
seni adalah sesuatu yang kiranya bisa diduga selalu ada dalam tiap konteks
ethnik di Indonesa.
Suatu hal lain yang mungkin juga
merupakan ciri umum anggapan bahwa bahwa seni baru hadir dan berarti apabila ia
dihayati dalam kelompok. Sudah tentu
ciri umum ini tak boleh terlalu jauh dicari-cari apabila kita tidak hendak
terjerumus ke dalam generalisasi yang terlalu jauh dari kenyataan. Lagi pula generalisasi hanya akan membawa kepada
pikiran-pikiran ke arah standardisasi, suatu arah yang menuju pada arah
kebekuan.
Namun kenyataan menunjukkan bahwa seni
pertunjukan yang berasal dari lingkungan-lingkungan ethnik itu kebanyakan mendapatkan pengembangannya di kota-kota,
suatu tempat kedudukan yang mempunyai sekelompok ciri umum yang selalu terdapat
di mana-mana, yaitu untuk menyebut hal-hal yang berhubungan dengan kesenian
saja, berupa:
—
adanya tempat yang tetap untuk menggelar
kesenian;
—
adanya sistim imbalan jasa berupa uang untuk
seniman yang mempergelarkan kesenian;
—
adanya dasar kesepakatan ‘harga’ sebagai
landasan untuk mempergelarkan kesenian;
—
adanyanya kecenderungan kekhususan dalam memilih
bidang kegiatan, sehingga kesenimanan
cenderung di untuk dikejar
sebagai profesi.
Ciri-ciri
umum ini tidak selalu dikenal dalam konteks-konteks ethnik dari mana salah satu jenis pertunjukan berasal, di samping
tidak juga masing-masing ciri itu selalu
sama sekali asing. Dalam
lingkungan-lingkunan ethnik itu
terdapat bermacam-macam corak hubungan kesenian dalam masyarakat. Yang jelas, apabila kesenian itu dipindah
dari lingkungan ethnik ke lingkungan
kota, ia mengalami modulasi dalam berbagai hal, seperti:
a.
dalam
kaitannya dengan tata hidup.
Sehubungan
dengan kaidah efisiensi yang dianut kota, maka suatu pegelaran seni pertunjukan
seni hanya diselenggarakan di tempat dan waktu yang ditetapkan atas dasar
kemungkinan terbanyak untuk membawakan hasil — berupa pendapatan maupun
antusiasme penonton — lebih daripada atas dasar perhitungan kosmologis. Dengan adanya perlengkapan
teater berupa sistem-sistem tata cahaya, tata surya dan tata pentas, maka sifat
pertunjuka pun disesuaikan dengan itu.
b.
Dalam rasa
harmoni.
Kesukaan
akan pementasan yang berpanjang-panjangberubah menjadi anggapan bahwa suatu
pertunjukan yang berlangsung lebih dari tiga jam adalah suatu yang berlebihan,
sesuatu yang tidak membuat harmoni dengan laju kehidupan kota. Kecuali iyu, suatu pertunjukan dianggap baik
apabila mengandung cukup variasi.
c.
Dalam
ideal-ideal.
Terutama
dalam seni pertunjukan yang berupa drama, maka tipe-tipe ideal dari
pahlawan-pahlawan cerita sedikit banyak disesuaikan dengan nilai-nilai
kota. Apabila dalam watak-watak yang
stereotip agak sukar mengadakan perubahan-perubahan secara menyolok, maka
penafsiran-penafsiran baru atas ideal-ideal lama itu lalu diungkapkan melalui
watak-watak fleksibel yang umumnya berupa pelawak-pelawak.
d.
Dalam
pokok-pokok pembicaraan.
Juga dalam seni pertunjukan yang berupa drma, khususnya yang tidak
berpola ketat, pokok-pokok pembicaraan dalam jalannya cerita tentu sedikit
banyak mengikuti ‘mode’ yang ada di kota.
e.
Dalam
bahasa.
Karena kota umummnya mempunyai penduduk
yang heterogen maka penggunaan bahasa dari daerah asal seni pertunjukan
masing-masing menjadi kurang leluasa, hal mana disebabkan oleh faktor penonton
maupun pemain. Penyaji pertunjukan-pertunjukan bisa mengadakan
penyesuaian-penyesuaian agar bahasa daerah yang dipakai bisa diterima oleh
penonton dari kalangan yang seluas-luasnya, dengan jalan misalnya menyisipkan
kalimat-kalimat atau kata-kata dalam bahasa Indonesia.
Lahirnya untuk sendratari adalah juga atas
motivasi ini. Di balik itu ada
kemungkinan pula bahwa kemampuan para pemain sendiri untuk memakai bahasa
daerah sufah berkurang. Modulasi-modulasi
yang pada dasarnya ditimbulkan oleh tata hidup kota, pada gilirannya bisa juga
menyerbu ke daerah, ke desa, dengan suatu tampang bahwa itulah ciri-ciri
kemodernan.
Dilihat dari lingkungan ethniknya masing-masing dan dalam
lingkungan kota-kota, tata laksana dari penyelenggaraan kesenian adalah
berbeda-beda. Khusus mengenai siapa yang
menentukan, terdapat beberapa kemungkinan yang meliputi:
—
Pimpinan pemerintahan
—
Pimpinan keagamaan
—
Sponsor kesenian
—
Seniman sendiri
Secara garis besar bisa dikatakan bahwa
pertunjukan-pertunjukan yang ditentukan oleh pihak pemimpin pemerintahan
seperti lingkungan presiden, raja, gubernur, bupati dan seterusnya, bertujuan
untuk menunjukkan prestise, kemegahan, kebesaran. Maka yang dipertunjukan adalah hasil-hasil
indah dan menakjubkan yang telah dikenal dalam khasanah esenian bangsa. Kadang-kadang pemimpin pemimpin pemerintahan
juga mendorong penciptaan baru.
Adapun jika pemimpin keagamaan yang
memegang kata, maka sudah tentu yang diperlukannya adalah juga
pertunjukan-pertunjukan yang mempunyai arti magis, kebaktian ataupn suci,
dihubungkan dengan fungsi-fungsi keibadatan tertentu. Bukan teknik tinggi yang diminta dari pemain,
melainkan ekstase atau sekurang-kurangnya
suatu rasa pengabdian yang dalam. Dalam
lingkungan-lingkungan yang mempunyai kepemimpinan yang juga bersifat suci, maka
persyaratan mengenai pengabdian dipandang mutlak pula.
Suatu contoh dari adanya kerumitan
perkembangan sistim fungsi-funhsi dalam masyarakat adalah misalnya kesatuan
banjar di Bali. Banjar sendiri adalah
satu unit pemerintahan sipil, di mana kian
menjadi koordinator dari kegiatan-kegiatan bersama, namun hal-hal
terpenting yang harus diputuskan oleh dewan tertinggi desa, satu yang tinggi
dari banjar, adalah mengenai keagamaan.
Dan pusat desa di mana segala kegiatan untuk jangka panjang dilakukan
adalah pusat-pusat ibadat yang disebut kayangan tiga, atau pura-pura sedang bale banjar berlaku sebagai tempat
koordinasi kegiatan sehari-hari. Bahkan kulkul, instrumen komunikasi resmi yang
berlaku untuk seluruh warga desa hanya dimiliki oleh pura-pura. Dalam kerangka
yang seperti inilah desa memiliki
sekah-sekaha, yaitu kelompok-kelompok manusia sejenis, antara lain sekah gong atau Gamble, terdiri dari anggota-anggota yang khusus menggiati seni
pertunjukan. Secara formal sekaha ini bersifat profan ( profane ) dan profesional, tetapi isi
kegiatannya tidak lepas dari tujuan pengabdian keagamaan.
Penyajianpenyajian seni pertunjukan bisa
pula ditentukan oleh apa yang disebut ‘sponsor kesenian’, yang dapat berupa
jawatan resmi yang bertugas di bidang kesenian ataupun satu badan swasta. Apabila jawatan resmi yang menggiatkan,
tujuanya adalah sekitar membuat karya-karya seni pertunjukan dapat dinikmati
oleh sebanyak-banyaknya anggota masyarakat.
Apabila badan swasta yang mengusahakan maka umumnya tujuannya adalah
untuk mendapatkan keuntungan pergelaran-pergelaran kesenian tersebut. Dalam hal badan swasta ini lebih bersifat
perseorangan, maka sering motivasinya adalah juga untuk menaikkan prestise,
meniru kewenangan pemimpin-pemimpin pemerintahan. Pada masa-masa tertentu dalam sejarah,
peranan sponsor ini bisa pula dipegang oleh pimpinan gerakan-gerakan
politik. Dengan demikian langsung atau
tidak langsung seni pertunjukan memadai alat untuk menyebarluaskan
pendirian-pendirian politik, dengan jalan menyesuaikan tema-tema dan
dialog-dialog dengan tujuan tersebut. Di
mana seniman sendiri yang menentukan penyelenggaraan seni pertunjukan, maka
yang terpenting dalam kegiatannya itu adalah untuk melahirkan karya-karaya,
dengan tidak memperhitungkan lebih dahulu untung ruginya, disenangi atau
tidaknya oleh rakyat banyak. Yang mungkin
diperhatikan reaksinya adalah satu kalangan kecil seniman. Dalam hal ini hasrat menciptalah yang menjadi
dorongan satu-satunya untuk berbuat dan seniman memegang tugas memimpin dalam
kegiatan penyelenggaraan kegiatan seni.
Untuk melaksanaan tugas ini sering dibentuk suatu kelompok sebagai
pengemban wewenang yang diserahkan oleh masyarakat, misalnya dalam bentuk sekah gong, dewan-dewan kesenian dan sebagainya. Dalam beberapa sisrem pemerintahan kerajaan
di Indonesia, pernah dikenal keadaan di mana raja memegang seluruh peranan penggiatan
kesenian tersebut, jadi ia sekaligus menunjukkan prestise melalui persyaratan
teknis dan kemampuan pelaksanaan yang tinggi bagi pergelaran-pergelaran seni
pertunjukan di bawah naungannya, menuntut suatu sikap pengabdian, mendorong dan
memesan karya-karya kesenian dan juga sekali-kali mencetuskan gagasan
sendiriuntuk melahirkan karya-karya baru.
Sudah jelas bahwa seni pertunjukan
tradisional Indonesia berasal dari lingkungan-lingkungan teknis yang begitu
bermacam-macam terdapat di Indonesia.
Suatu penembusan atas batas-batas wilayah ethnis ini terjadi dengan munculnya gagasan mengenai kesatuan
Indonesia, mulai dari masa timbulnya pergerakan nasional sampai zaman
kemerdekaan. Dengan adanya gagasan
kesatuan Indonesia itu barulah timbul masalah mengenai mempersatukan yang
beraneka ragam, mengisi arti semboyan Bhineka Tunggal Ika. Sampai sekarang masalah ini masih
aktual. Berbagai usaha sudah dikerjakan,
yaitu memperkenalkan karya seni suatu daerah kepada anak-anak daerah lain,
maupun mengajarkan suatu bentuk seni kepada anak-anak daerah lain, dengan
memberikan selapis ciri penerapan umum atas bahan-bahan kedaerahan
tersebut. Beberapa akibat sampingan
terjadi, seperti lepasnya suatu bentuk seni dari konteks yang semula merupakan
landasan eksistensinya, gejala popularisasi berlebihan dengan meninggalkan
kemampuan gaya, serta kecenderungan untuk menakar berbagai perwujudan kesenian
dengan suatu kriteria tunggal, suatu hal yang pasti tidak tepat karena seni
bersangkutan dengan keharuan dan timbulnya keharuan ini tergantung pada
kondisi, sedang diketahui bahwa kondisi ini tidaklah tunggal.
4.
Awam dan
seniman
a.
Stratifikasi
Apa yang
dianggap seni oleh seniman serig berbeda dengan apa yang dianggap seni oleh
awam. Pada dasarnya, seniman dan orang
awam adalah dua kutub pengertian dengan jarak terjauh. Di antaranya ada tipe moderat. Lebih jelas dapat digambarkan bahwa bagi seniman par excelence yang terpenting adalah
menyatakan suatu pengalaman unik, sedang bagi seorang awam yang paling awam,
kepentinggannya terhadap kesenian adalah sekedar untuk mengetahui, agar tidak
ketinggalan dari keeluruhan arus kehidupan dalam masyarakat. Di antaranya ada
suatu lapisan tengah yang hubungannya dengan kesenian berupa suatu kebutuhan
identifikasi, dengan penghayatan sebagai sarana pelaaksanaannya. Satu bagian dari lapisan tengah ini ada di
sayap seniman dan mereka inilah seniman-seniman yang berperan sebagai penafsir,
sedang bagian lain ada di sayap awam yaitu mereka yang berperan sebagai
apresiator.
Suatu
pengaburan batas-batas sudah tentu akan ditemui dalam kenyataan, sebab stratifikasi di atas adalah suatu stratifikasi peranan
yang tidak perlu sejajar dengan stratifiksi
kedudukan-kedudukan dalam tata
masyarakat. Maka sebagai suatu oal
peranan, ia mencakup anggota-anggota masyarakat sebagai suatu yang cair dan
senantiasa bergerak. Pelembagaan dan
pengarahan dengan isi-isi usaha yang pasti untuk memperbesar lingkungan hanya
bisa dikerjakan atas lapisan tengah tersebut, karena hanya lapisan itulah yang
bersangkutan dengan bahan-bahan yang pasti.
Adapun karya seni sebagai suatu ekspresi unik, pada taraf proses
kelahirannya dalam prinip harus bebas dari pelembagaan apapun.
Dengan
menyadari adanya lapisan-lapisan peran tersebut, serta adanya mobilitas di
antaranya, maka pengembangan seni pertunjukan mestilah memperhatikan
nuansa-nuansa tersebut, dengan konsekuwensi bahwa kriteria dijadikan sesuatu
yang relatif.
b.
Seni
pertunjukan dalam kehidupan
Seni
mempunyai nilainya sebagai penikmatan, yang terwujud sebagai pengalaman yang
berisi pembayangan (imajinasi) dan penjadian (proses). Suatu olah seni patut disebut seni apabila ia
mampu memberikan kebahagiaan, memberikan makan kepada rasa, melalui pengalaman
tersebut. pengalaman-pengalaman itu bisa
berbeda-beda oleh setiap individu, bergantung pada kesiapan masing-masing. Pada awalnya pengalaman seni itu berpangkal
pada si seniman, namun ini baru mendapatkan kesempurnaannya apabila terdapat
suatu penerimaan pada pihak si penikmat.
Sehubungan
dengan penikmatan seni ini perlu diperhatikan masalah pendekatan awalnya. Secara garis besardan sebagai abstraksi dapat
dibedakan dua pendekatan yang kurang lebih dapat disebut klasik dan
kontemporer. Dalam pendekatan klasik
kesenian merupakan pernyataan daripada idealisasi intelektual, didasari oleh
seperangkat sistem perlambangan yang menetap.
Yang dapat berbeda-beda menurut kemampuan tiap seniman adalah pilihan
motif-motifnya, cara menyatakan dan cara menyajikannya, serta intensitas
penghayatannya. Dengan pendekatan ini
penyelenggaraan seni merupakan semacam upacara, di mana efek yang berupa rasa
adalah sesuatu yang telah diperhitungkan.
Seniman dan penonton sudah sama-sama mengetahui apa yang akan terjadi,
hanya bagaimananya dari kejadian itu yang membedakan dalam tidaknya, utuh
tidaknya rasa yang dicapai. Melalui
nuansa-nuansa yang bisa timbul mempergelarkan seni itu, tersalurlah janin-janin
penafsiran baru yang secara berangsur-angsur bisa mengubah sedikit demi sedikit
sistem pelembagaan yang menjadi kerangka
tradisi seni yang bersangkutan. Dpat
dicata dalam hubungan ini bahwa ruang gerak untuk interpretasi ini pada
bentuk-bentuk seni tradisinal di Indonesia pada umumnya lebih longgar dari
bentuk-bentuk seni yang tumbuh di Eropa misalnya, karena dasar berolah di sini
bukanlah suatu preskripsi yang tepat dan ketat.
Lain
daripada itu, pendekatan kontemporer lebih mentikberatkan penilaian pada
keunikan suatu karya seni. Bagi
pendekatan ini suatu karya seni baru dianggap benar-benar seni apabila ia lahir
sebagai suatu wawasan pribadi yang tidak terikat oleh pembatasan apa pun,
sehingga setiap pribadi seniman adalah suatu keunikan yang muncul dari
kondisi-kondisi yang setiap saat berubah.
Setiap karya seni adalah loncatan imajinasi yang tidak terduga. Kelainan seorang seniman dari seorang awam
adalah bahwa ia mempunyai naluri untuk melihat suatu unsur sebagai suatu
potensi seni serta kemampuan untuk menyatukan unsur-unsur dalam suatu karya
seni secara lain daripada yang lazim.
Karena itu seorang seniman sering tanpa menggunakan kesempatan pada
saat-saat dan di tempat-tempat yang tidak terduga, tanpa rencana yang
jelas. Seorang seniman yang
berkaryaberada benar-benar dalam suatu situasi penciptaan. Situasi ini bisa mempengaruhi serta manarik
gairah sekitarnya, yang berarti bahwa karya itu memberikan pengalaman baru,
suatu pengalaman seni kepada mereka yang ada di sekitarnya.
Sebenarnya
dalam kategori ini pun ada pembedaan
atas dua penglihatan, khususnya apabila kita membicarakan seni pertunjukan.
Yang pertama adalah untuk menempatkan suatu penyajian seni pertunjukan sebagai
tontonan, di mana ada pemiahan yang jelas antara yang mempergelarkan dengan
yang menonton, sedang yang kedua adalah untuk memberikan arti pada seni
pertunjukan sebagai suatu pengalaman bersama di mana penonton dan pemain saling
berhubungan. Berbagai bentuk seni
pertunjukan tradisional di Indonesia pada dasarnya termasuk golongan terakhir
ini, yaitu di mana para pelaku bisa menyindir penonton, bahkan juga di mana
pemain sewaktu-waktu bisa masuk di antara penonton, dan penonton sekali waktu
bisa juga ikut bermain. Tetapi
sifat-sifat ini ada kecenderungan untuk menghilang sehubungan dengan proses
‘pembudayaan’ yang sering diartikan sebagai menempatkan seni pertunjukan lebih sebagai tontonan daripada sebagai suatu
pengalaman bersama.
Dalam hal
seni pertunjukan tradisional di Indonesia, pendekatan klasik maupun kontemporer
keduanya dikenal, meskipun dalam hal ini bahannya tertentukan oleh
perbendaharaan tradisional. Demikian
pula dikenal berbagai corak hubungan seniman-awam, dari yang sangat krtat
sehingga seolah-olah tidak da prmisahan (tayub, doger, pertunjukan-pertunjukan
upacara dan seterusnya) sampai yang sangat dipisahkan oleh adanya pengkhususan
yang ketat (bedaya, tarian kepala-kepala suku dan lain-lain).
Seni
pertunjukan adalah sesuatu yang berlaku dalam waktu. Suatu lokasi mempunyai artinya hanya pada
suatu pengungkapan seni berlansung di situ. Hakekat seni pertunjukan adalah gerak, adalah
perubahan keadaan. Karena itu substansinya terletak pada imajinasi
serta prosesnya sekaligus. Suatu daya rangkum
adalah saranya, suatu cekaman rasa adalah tujuan seninya, sedang ketrampilan
teknis adalah bahannya.
Suatu
bentuk seni pertunjukan tradisional bisa mengikuti pola-pola berulang dalam
segi ketrampilan teknis ini, namun segi-segi lainnya selalu mengandung
perubahan. Maka setiap orang jika pergi
melihat suatu pergelaran seni pertunjukan tradisional berangkat untuk melihat
tema yang dikenal, tapi juga untuk mengharapkan suatu keunikan dalam
pelaksanaannya. Dari pihak seniman
tantangannya adalah untuk memberikan penafsiran pribadinya atas kerangka yang
ditentukan. Penafsiran inilah yang bisa
berubah dari waktu ke waktu, dari pribadi ke pribadi. Perubahan ini bisa terjadi oleh sebabperubahan lingkungan, dalam arti di
sini terjadi penyesuaian, namun dapat pula ia merupakan suatu pelepasan diri
dari kebiasaan-kebiasaan yang telah terasa kaku. Perubahan ini menjadi amat lambat jika sangsi
keagamaan masuk ke dalam perhitungan. Dalam
hal ini unsur pendekatan keagamaan perlu dibedakan atas dua tataran. Yang pertama adalah yang bersandar pada
kekeramatan, di mana tiap bentuk tetap dianggap sebagai sumber kekuatan gaib,
sedang yang kedua adalah yang bersumber pada kebaktian, di mana pengerahan diri
adalah sarana untuk berhubungan dengan yang gaib. Dengan demikian corak kepercayaan yang
pertamalah yang lebih kuat membuat bentuk-bentuk seni menjadi ketat. Sedang sikap yang kedua meletakkan pengalaman
seni dan pengalaman religius di jalur yang sejajar dengan kualitas yang sama.
c.
Seni
pertunjukan dalam masyarakat
Melihat bahwa bermacam peranan bisa dipunyai kesenian dalam kehidupan
dan peranan itu ditentukan oleh keadaan masyarakat, maka besarlah arti kondisi
masyarakat ini bagi pengembangan kesenian.
Apalagi kalau kita membicarakan seni pertunjukan, karena seni
pertunjukan itu pada awalnya menyangkut suatu kerja kelompok dan keduanya ia
membutuhkan hadirnya dua pihak, yaitu penyaji dan penerima.
Kita ketahui adanya kondisi kemasyarakatan Indonesia yang mengenal
perbedaan-perbedaan wilayah keadaan dan di lain pihak pembangunan masyarakat
dijalankan untuk menyamaratakan kemakmuran dengan teknikk-teknik membangun yang
dilandasi oleh norma efisiensi yang seragam.
Suasana kehidupan yang lamban dan didasari oleh kekuatan-kekuatan magis
berangsur-angsur diubah menuju suatu tata hidup yang dilandaskan pada
perhitungan-perhitungan rasional. Konsep
keluarga besar berubah ke konsep keluarga kecil. Sikap gotong royong bisa bergeser menuju ke
sikap penuh perhitungan. Sedang suatu
falsafah efisiensi yang berlebihan bisa membawa anggapan bahwa berolah seni
adalah suatu pemborosan. Didorong oleh
kebutuhan yang nyata akan kesejahteraan material yang lebih baik, maka
pembinaan sarana-sarana kesenian sering menjadi tersisih. Arah perkembangan seperti itu dipertegas oleh
tidak berfungsinya lagi dalam banyak hal wewenang-wewenang dalam masyarakat
yang semula menjadi pelindung serta pendorong kehidupan kesenian.
Jika seorang datu di tanah Batak semula memimpin kehidupan kepercayaan
dalam masyarakatnya karena ia dianggap mempunyai kekuatan batin yang paling
besar, dan kebetulan seorang datu itu sekaligus merupakan pemilik satu-satunya
dari tari-tarian datu yang kebetulan pula mempunyai kemungkinan gerak terbanyak
di antara semua tarian Batak, maka dengan dihapusnya kepercayaan asli untuk
diganti dengan agama Nasrani atau Islam, hapus pulalah tari-tarian itu karena
datu sudah tidak mempunyai tempat lagi dalam masyarakat, sedang tak seorang pun
berani mewarisi secara keseluruhan kemampuan yang merupakan yang merupakan hak
istimewa dari datu itu.
Sebagai contoh lain, surutnya wibawa pusat-pusat kebansawanan yang
semula mempunyai peranan memimpin dalam segala seni kehidupan, menyebabkan
berkurang atau hilangnya kemampuan pendorong untuk mengembangkan kesenian
khususnya. Maka nilai-nili seni yang tak
sempat disebarluaskan karena semula lkingkungan penggarapannya memang terbatas,
menjadi terdesak ke belakang dan munkin sampai pada kematiannya.
Sebaliknya, dengan munculnya anggota-anggota masyarakat yang bermodal
besar, tampillah pelindung-pelindung baru dari kesenian pada umumnya, seni
pertunjukan khususnya. Maka bentuk
kesenian yang dimunculkannya pun bergantung kepada selera pelindungpelindung
baru ini. Besar-kecilnya kadar seni
tergantung pada persiapan pribadi mereka, berbeda dengan pelindung-pelindung
dari beberapa kallangan bangsawan misalnya, yang memiliki suatu orientasi dasar
mengenai kesenian sebagai suatu bagian pendidikan pribadi yang wajib
dilaluinya. Peranannya kemudian pun
dalam masyarakat adalah sebagai pemimpin yang harus memperhatikan pembinaan
segala sendi kehidupan, berbeda dengan pelindung modal besar yang pada
prinsipnya tidak memegang fungsi memimpin masyarakat.
Diketahui bahwa seni pertujukan pada pokoknya adalah sesuatu yang
membutuhkan kelompok dan memberikan pengalaman langsung. Namun dengan dipakainya alat-alat baru seperti
alat pendengar, radio, piringan hitam, tape recorder dan juga film, maka
apabila suatu pergelaran direkam dan kemudian diputar kembali, sifatnya sebagai
suatu pengalaman langsung berubah menjadi berperantara dan sifatnya sebagai suatu peristiwa kelompok
mengalami individualisasi penikmatan.
Perekaman ini di pihak lain mempunyai kemampuan memperluas sasaran serta
menambahkan sifat permanen kepada sesuatu yang berlaku dalam waktu. Penggunaan pengeras suara yang dipancarkan
keras-keras pada saat pertunjukan berlangsung memperluas sasaran pendengar sampai kepada mereka yang tidak
hadir di tempat pertunjukan, yang tidak melihat. Penyiaran auditif
dari karya-karya teater berarti penonjolan karya tersebut sebagai karya
sastra. Ini suatu langkah pula yang
menambah jarak antara pemain dan penonton.
Gejala tersebut kiranya dapat dihubungkan pula dengan norma efisiensi di
mana suatu karya dari
kelompok-kelompok seniman yang bernilai tinggi dapat dinikmati oleh kalangan
seluas-luasnya dan menjangkau waktu dengan pengulangan yang sebanyak-banyaknya,
tanpa seniman-seniman tersebut mengeluarkan daya upaya lagi untuk mengulang
karya mereka. Suatu hubungan langsung
antara pemain dan penonton terasa kurang mendesak.
Pergeseran-pergeseran tata masyarakat mengakibatkan pula perubahan
dalam menanggapi seni sebagai profesi.
Dengan men ciutnya kekuasaan raja-raja, sultan-sultan dan bupati-bupati
yang semula menjadi pelindung dan penopang kehidupan kesenian, maka terlemparlah
seniman untuk berdiri di atas kaki sendiri.
Pemerintah R.I. pada waktu ini tidak bisa menyamai limpahan dana yang
dituangkankepada kesenian seperti yang pernah terjadi dalam sistem-sistem
pemerintahan lamakarena skala prioritaspembangunan sekarang yang
menitikberatkan usaha pada kemakmuran yang merasa berbeda dengan prioritas dalam
konteks lama yang memusatkan usaha untuk kewibawaan dan keagungan figur
pemimpin.
Terlemparnya seniman ke dalam dunia khususnya sendiri menghadapkan dia
pada masalah kelangsungan hidup dan sehubungan dengan itu masalah harga. Pilihan untuk meningkatkan pendapatan seniman
dalam salah satu seginyaberarti menjauhkan kesenian dari daya beli umum dan ini
bisa pula bertolak belakang dengan pikiran untuk menjadikan seni pertunjukan
milik yang akrab dari masyarakat seluruhnya.
B.
SARAN-SARAN
Apabila titik tujuan adalah mengembangkan seni pertunjukan seni
tradiinal Indonesia, sedang kita sudah melihat bahwa yang disebut seni
tradisional Indonesia itu mempunyai demikian banyak segi masalahnya, maka dalam
mengajukan saran-saran haruslah ditentukan pilihan-pilihan. Sebagai suatu garis besar dapatlah saran
pengembangan ini dirumuskan sebagai, “Menciptakan Indonesia dalam seni, dengan
mempertahankan keserbanekaan serta membuka seluas-luasnya kemungkinan hidupnya
daya cipta”. Rumusan ini tentu masih
memerlukan penguraian dalam beberapa seginya.
Menciptakan Indonesia adalah suatu keharusan karena seluruh proses
menuju ke arah itu, sedang diketahhui seni itu berakar pada masyarakat. Seni berkembang dari masa lalu, bagaimanapun
sifat perkembangannya itu. Dan masa lalu
atau kondisi dasar itu adalah wilayah serta bangsa I ndonesia yang telah
membina diri sebagai kesatuan. Jika
dalam masa lalu itu dikenal suatu Indonesia yang terpisah-pisah dalam kondisi
ethniknya masing-masing dan kemudian ditiupkan semangat untuk bergerak
mempersatukan seluruhnya itu dengan landasan satu nusa satu bangsa, satu
bahasa, maka sudah tentu tidaklah dengan sendirinya semboyan itu harus
diteruskan dengan: satu kesenian. Betapa arti seni itu akan hilang kalau
prinsip bebasnya harus ditukar dengan keharusan berwujud tunggal. Bahkan kriteria pun tidak bisa dibikin
tunggal sebab hal itu hanya akan menghasilkan seni yang bercorak satu, yang
akan cepat membunuh diri. Tidak perlu
kiranya terjadi bahwa suatu bayangan kengerian akan timbul bahwa dunian akan
dilanda oleh satu corak kesenian streamlined. Unifikasi dan standardisasiadalah tidak harus
diberi tekanan utama, sebab pengutamaan padanya dapat mengakibatkan susutnya
penilaian terhadap seni yang menumbuh.
Maka menciptakan Indonesia dalam hal ini harus lebih dilihat sebagai
suatu kesalinkenalan serta kesadaran akan pemilikan bersama yang mencakup
keseluruhan perbendaharaan kesenian di Indonesia. Adanya hubungan yang mudah dan saling
bersikap terbuka — yang lebih-lebih diperlukan dalam hal seni pertunjukan yang
membutuhkan hubungan langsung — adalah suatu sarana mutlak bagi terjalinnya
ikatan keindonesiaan.
Keserbaragaman mempunyai artinya yang positif karena ia menimbulkan
dinamik dalam saling hubungan itu.
Corak-corak yang berbeda serta fungsi-fungsi yang saling berbeda dalam
olah seni dapat saling memperluas pandang antar wilayah budaya ethnik yang ada,
sedang suatu kesempatan untuk saling
mengenal secara mendalam dapat merupakan suatu pengalaman yang penuh gairah.
Maka adalah penting dalam usaha pengembangan seni pertunjukan
tradisional untuk menghidupkan kesenian itu di lingkungan-lingkungan ethniknya sendiri, membuat ia tetap
merupakan kebutuhan masyarakatnya. Ini
suatu segi pembangunan masyarakat yang juga memerlukan perhatian. Dalam hubungan ini memupuk kualitas menjadi
amat penting, karena banyak kemungkinan putra-putra terbaik dari daerah-daerah
berpindahan dan berkumpul di kota-kota besar.
Apabila ia sempat berolah seni dalam kota-kota besar itu maka dapat
diharapkan bahwa karya seninya akan mengalami perubahan warna yang disebabkan
oleh adanya selapis ciri umum yang
selalu terdapat pada kesenian yang tumbuh di kota. Dalam hal ini demikian kadar keunikan
ragamnya dapat berkurang.
Pengembangan wilayah ini tentu mengalami hambatan-hambatannya, halmana
sebagian disebabkan oleh urbanisasi dan kemiskinan, sebagian lagi oleh tidak
adanya bimbingan dan pengarahan. Dapat
dikemukakan sebuah keadaan. Pada
satu-satunya gedung bioskop di sebuah desa diputar film Lampu Merah dab film-film lain yang penuh dengan adegan seks dan
kekerasan berlatar belakang kemewahan.
Bagi penonton di tempat itu film tersebut memberikan sebuah dunia yang
mengikat, sebagian karena asingnya, sebagian karena ia mengungkapkan hal-hal
yang terlarang, sebuah bayangan mengenai suatu kemungkinan hidup yang
lain. Dalam situasi demikian adakah
artinya untuk mempertahankan kesenian tradisional, apakah orang masih merasa
butuh? Suatu kemungkinan adalah bahwa
orang masih menyimpan suatu kerinduan akan kesenian tradisional yang telah
dikenal. Dalam hal ini maka kerinduan
inilah yang masih harus dipertahankan.
Kegiatan berkala mesti diadakan dengan membuat kesertaan orang dalam
kegiatan tersebut suatu yang menyenangkan dan bukan sesuatu yang mahal.
Membuat olah seni itu sesuatu yang tidak perlu mahal disatu pihak
adalah usaha yang layak untuk membuat seni milik masyarakat yang akrab,
murah. Maka dalam hal inilah suatu
pengarahan yang bersifat ethnik harus
turut campur. Anak-anak muda umumnya
terpikat pada musik dan tari pop yang merupakan perkembangan dari
tradisi-tradisi seni barat, dan senang memamerkannya. Juga orang dan bangga membayar mahal untuk
belajar balet, belajar piano. Ini semua
dianggap menambah gaya hidup. Kalau ada
yang senang gamelan misalnya, karena kebiasaan di rumah, maka mereka
menikmatinya dalam situasi minoritas, secara diam-diam.
Keadaan dan sikap-sikap tersebut tentu harus diubah. Kesenian tradisional harus dijadikan
perlengkapan wajib dalam pendidikan tiap pribadi, sehingga pemiliknya menjadi
sesuatu yang wajar dan pencapaian yang istimewa dalam bidang itu menjadi
sesuatu yang dibanggakan. Pembinaan
pribadi bangsa yang searah itu akan terlaksana kiranya apabila kesenian
tradisional dijadikan kegiatan wajib di tiap-tiap SD dan negara sudah dapat
menetapkan wajib belajar untuk tiap SD TERSEBUT. Sedang untuk membuat penggiatan seni
tradisional itu sesuatu yang tidak hina dan bahkan juga menambah gaya hidup,
haruslah diciptakan kondisi di mana karya-karya besar dan seniman-seniman besar diletakkan ditempat yang terhormat
serta bisa dikenal seluas-luasnya. Pada waktu ini dalam kenyataan anak-anak
sekolah lebih mengenal seniman-seniman
besar Eropa daripada seniman-seniman dan karya-karya seni negaranya sendiri.
Masih dalam hubungannya dengan pendidikan, untuk menciptakan Indonesia
dalam seni dapat disarankan untuk memberikan ilmu perbandingan bahasa-bahasa
Nusantara pada tingkat SLA, khususnya karena pengenalan bahasa adalah sarana
yang amat penting untuk memberikan apresiasi yang lebih dalam kepada seni pertunjukan.
Dalam hal menumbuhkan daya cipta, mula-mula yang diperlukan adalah
sikap terbuka dari golongan mana pun dalam masyarakat. Sikap ini bisa diciptakan dengan memberikan
contoh dari pihak pemerintah, karena dalam kenyataan tradisi menjunjung tinggi
para pemimpin yang masih hidup. Dalam
hal ini perlu diperhatikan bahwa bagi penciptaan seni, pergeseran-pergeseran
masyarakat justru merupakan awalan, sedang suatu kondisi “tata tentram” diperlukan
dalam segi fisik matterial.
Suatu pendekatan tanpa definisi adalah sikap pengembangan seni yang
terbaik untuk menghalalkan timbulnya berbagai kemungkinan. Dengan pendekatan ini daya cipta dalam
pengungkapan seni pertunjukan tradisional dapat dilindungi terhadap
pembatasan-pembatasan yang menggunakan kriteria tetap. Dalam hal ini, karya-karya ‘standard’
kriteria-kriteria ‘standard’ bukan berarti harus ditelantarkan. Ia harus dipelihara, tetapi dengan suatu
pandanganyang jelas bahwa itu adalah usaha preservasi (preservation). Prinsip
preservasi dapat diertahankan dalam arti memperluas lingkaran apresiator serta
kemungkinannya menjadi menjadi sumber ilham, tetapi bukanlah dengan pengertian
bahwa mengulang-ulang karya itu adalah satu-satunya pengungkapan seni yang
benar.
CATATAN:
1. Jaya Budaya adalah suatu perhimpunan
kesenian yang bergerak di bidang drama, tari Jawa, didirikan atas dorongan
Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1970.
Rata-rata perhimpunan ini menyajikan pertunjukannya sekali dua bulan
untuk Pusat Kesenian Jakarta “Taman Ismail Marzuki”, dengan penggarapan repertoire yang lebih teliti
dibandingkan dengan himpunan-himpunan wayang wong pada umumnya.
2.
Kata mester
berasal dari programma-meester yang
pengertiannya sama dengan sutradara, pengatur laku. Di sini itilah ini dipakai
dan bukan sutradara karena pertimbangan asosiatif. Sutradara membawa pikiran
pada drama modern ataupun pada drama klasik India, sedang istilah mester yang dikenal di lingkungan komidi
stambul dan wayang wong, lebih sesuai untuk dipakai di sini karena kesesuaian cara
kerja. Sardono maupun I Wayan Diya dalam
hal ini, seperti halnya mester dalam tradisi wayang wong memberikan pengarahan
cerita pada garis besarnya, memberikan petunjuk peaksanaan di mana perlu, dan
tidak bertolak dari pegangan yang ketat.
3.
Rasa Dhvani adalah sanggar tari Bali yang
dipimpin oleh I Wayan Diya, memulai
krgiatannya di lingkungan Pusat Kesenian Jakarta sejak 1969. Himpunan ini berpegang pada prinsip
keanggotaan yang longgar.
4.
Yang dimaksud dengan corak pertunjukan
weayang adalah pertunjukan yang mengandung cerita, di mana tokoh-tokohnya
diperankan dengan mematuhi ketentuan-ketentuan mengenai perwatakannya, serta
urutan penyajiannya mengikuti suatu konvensi tertentu, pentahapan atas tiga patet dengan masing-masing berintikan
jejeran (gara-gara) penyelesaian.
(5 Nopember 1973)
Kertas kerja untuk
Seminar Seni Rupa dan Seni Pertunjukan Indonesia (dalam rangka Study on Malay Culture, UNESCO),
Jakarta, 19 – 21 Nopember 1973).
Pustaka:
Prof. Dr. Edi Sedyawati. “Pertumbuhan Seni
Pertunjukan” hal. 48—67
Pustaka Sinar Harapan 2000 – Direktorat
Pendidikan Menengah Umum
Slamet Priyadi
Di Pangarakan, Bogor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar