Raya Fahreza
Nonton, eh, Ngopi Sore di Hari Perfilman Nasional
“
Nggak banyak yang tahu kalau ada Hari Perfilman Nasional. Yang bekerja di industri film saja ada yang nggak tahu, apalagi yang awam seperti si Mas Karyawan dan Mbak Karir yang sore ini memutuskan mampir di bioskop seusai rapat dengan klien di luar kantor. Keduanya terpaku di lobi bioskop melihat-lihat poster.Hantu kesurupan, hantu handphone, hantu joget. Mau yang mana nih?”
“Jadi nggak seru gini ya, Rir,” kata Mas Karyawan kepada Mbak Karir.
“Iya, Wan. Film amriknya nanggung, kayak barang sisa. Yang film sininya baru tapi nggak asyik.”
“Hantu kesurupan, hantu handphone, hantu joget. Mau yang mana nih?”
Mbak Karir tertawa sambil goyang-goyang menirukan hantu, seakan yang sudah konyol bisa lebih konyol lagi.
“Masih lama juga jam-jamnya, Wan. Kita duduk aja dulu yuk ngopi.”
Mereka kemudian ke kafe yang ada di lobi bioskop itu. Sekarang memang bioskop yang besar jadi lebih lengkap dan nyaman. Ironisnya, hari ini kenyamanan itu seperti nggak berarti karena pilihan film yang ada terasa jauh menurun. Kedua orang ini belum tertarik pada satu pun film yang ada.
“Filmnya mayoritas film lokal ya, Wan?”
Mas Karyawan menghitung satu demi satu poster yang terpajang. Benar, dari enam layar, ada empat yang memutar film nasional.
“Iya, karena film impor lagi stop ya pastinya.”
“Jadi lumayan dong ya, Wan. Katanya film nasional jadi kebantu, pesaing berkurang.”
“Nggak tahu juga sih, kalau sepi ya sepi aja.”
“Abis filmnya gitu semua sih ya? Horor semua.”
“
Mbak Karir mengaku nangis tersedu-sedu waktu nonton “Ayat-ayat Cinta” dan ketawa terbahak-bahak mengingat tarian para gigolo di “Quickie Express”.”
Kopi yang dipesan datang, mereka berhenti sejenak.
“Tapi horor juga seru sih, Rir. Inget nggak waktu pertama kita nonton dulu?”
“Yang mana?”
“Dulu itu, ‘Jelangkung’.”
“Oh iya, itu seru bangeeet. Aku sampai menonton dua kali, dengan adikku. Iya sih, sebetulnya horor nggak apa-apa.”
“Makanya, bukan masalah horornya, tapi film sekarang jadi klise, dan modal seksi.”
Mas Karyawan menghela napas.
“Sayang ya. Rasanya belum lama ini film nasional sempat ngehits, menonton itu jadi kayak acara wajib. Banyak yang bagus.”
“Bukannya loe hobinya nonton film amrik aja, Wan?”
“Iya sih, Rir. Tapi sama kayak musik, kalau lagi kangen sama yang lokal, yang luar nggak akan bisa menggantikan.”
“Emang film nasional apa yang loe tonton dan loe suka?”
Obrolan pun jadi seru. Mas Karyawan dan Mbak Karir masing-masing membahas film nasional favorit dan kesan-kesannya. Keduanya pernah merasakan sulit tidur karena “Jelangkung”, naksir sama bintang “Ada Apa Dengan Cinta”, bernyanyi bareng “Petualangan Sherina” dan nggak lupa cekikikan mengenang gaya-gaya dari “Catatan si Boy”.
Semakin dibahas, semakin banyak film nasional yang ternyata berkesan bagi keduanya. Mbak Karir mengaku nangis tersedu-sedu waktu nonton “Ayat-ayat Cinta” dan ketawa terbahak-bahak mengingat tarian para gigolo di “Quickie Express”. Si Mas Karyawan suka film “Get Married” yang lucu, namun judulnya bikin sebal karena membuat mantan pacarnya menagih nikah,
Mas Karyawan juga jadi ledekan karena tak sengaja mengaku suka film “Heart”. Keduanya mengenang repot dan senangnya membawa keponakan menonton “Garuda di Dadaku” dan membahas ketidak-mengertian mereka akan cerita film “Pintu Terlarang” yang ujungnya bikin bingung.
Itu baru sebagian dari yang keduanya tonton. Tak terasa, puluhan judul dibahas dan waktu berlalu.
“Ternyata banyak juga ya film nasional yang lumayan. Bukan cuma yang jadul.”
“Haha... Iya, Rir. Aku sendiri agak takjub setelah dibahas, ternyata nggak sedikit lho yang aku tonton dan suka.”
Mbak Karir melirik jam tangannya, lalu melihat ke loket karcis yang lengang tanpa antrian.
“Udah jam setengah tujuh nih, jadi, kita nonton yang mana?”
“Aduh, yang mana ya...”
Mas Karyawan berdiri dan melihat kembali satu per satu poster film nasional yang mayoritasnya sepertinya film asal seksi. Nggak ada persaingan berat menguasai layar-layar. Kata pemerintah, absennya film impor studio besar jadi peluang bagi film nasional. Tapi jujur, kalau film nasional begini semua, malas juga menonton. Ia menghela napas, lalu menengok ke teman wanitanya.
“Kayaknya aku jadi nggak ingin nonton.”
Mbak Karir tersenyum.
“Iya, aku juga malas. Makan malam saja yuk?”
Mereka kemudian beranjak dari kafe, keluar meninggalkan bioskop yang tidak ramai itu. Tidak jadi menonton film. Sambil berjalan berdua, obrolan mereka berlanjut. Keduanya berencana akan pergi menonton kelak kalau memang ada film yang menarik. Pasti ada lagi, nanti. Semoga tak lama lagi.
Selamat Hari Perfilman Nasional.
Jangan pernah menyerah membuat film Indonesia.
Jangan pernah menyerah dengan film Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar