Totalitas Teater Yupa Universitas Mulawarman
Metropolis | Minggu, 24 Maret 2013 | 18:52:02 WIB
|
Teater Yupa terus
berinovasi dalam karya demi eksistensi. Bagi mereka totalitas itu nomor
satu.
|
TIRAI
HITAM menutupi seluruh ruangan, membuat suasanya serba kelam. Di panggung
yang bermandikan cahaya hanya para aktor dan aktris. Di sana mereka sibuk
berakting dengan penuh totalitas. Tujuannya satu, demi kepuasan penonton,
para penikmat seni.
ITULAH
gambaran setiap kali para pemain di Teater Yupa melakukan pementasan.
Teater Yupa adalah sebuah unit kegiatan mahasiswa di Universitas
Mulawarman (Unmul). Anggotanya dari para mahasiswa pecinta seni di sana.
Cukup lama teater ini terbentuk, 21 Mei 2013 nanti teater ini genap
berumur 22 tahun. Mereka membuktikan eksistensinya dengan terus berkarya.
Dari
pribadi-pribadi yang kreatif, karya tersebut telah mendapat prestasi
gemilang. Ketua Teater Yupa, Kaharuddin, mengatakan, bukan hal mudah
mendapatkan semua itu. Di balik semua keberhasilan, kata Kahar,
diperlukan sebuah perngorbanan dan perjuangan dari setiap anggota teater.
Dia menceritakan, sebelum resmi menjadi anggota teater, seorang calon
anggota harus “dilaser” terlebih dulu.
“Dilaser
ini kepanjangan dari Pendidikan dan Latihan Seni Teater. Jadi anggota
baru akan kami berikan pelatihan,” kata Kahar kepada Kaltim Post, sebelum
latihan harian di gedung Student Center Unmul, Jumat (22/3). Uniknya
setelah mengikuti pendidikan ini, masing-masing angkatan baru akan
mendapat semacam nama julukan. Dikatakan Kahar, nama julukan ini dipakai
untuk menjalin kedekatan emosional sesama anggota. “Kami menyebutnya nama
suci, ada yang diberi nama Bhont, Utuh, Bejur, Sutil, Jinsit, Tukit,
Jamu, Sepal, dan lain-lain.
Panggilan
itu bukan ejekan, justru malah semacam panggilan kesayangan,” ujarnya.
Mahasiswa angkatan 2007 jurusan Ilmu Komputer ini mengatakan minat
mahasiswa tentang seni teater ini sangat baik. Hal ini ditunjukan dari
banyaknya mahasiswa baru yang mengikuti kegiatan pelatihan dasar teater
setiap tahunnya. Dia menjelaskan, saat ini Teater Yupa memiliki kurang
lebih 60 anggota aktif.
Mereka
semua berasal dari mahasiswa Unmul di berbagai fakultas yang ada di sana.
Tak hanya berstatus mahasiswa, dia menceritakan para alumnus juga masih
banyak yang bergabung di dalam teater ini. Mereka menyebut para alumnus
ini Anggota Luar Biasa (ALB). Beragam kisah suka dan duka mewarnai
perjalanan mereka di pentas. Putri Ayu, salah satu anggota Teater Yupa
mengatakan, dia bersama lima kawannya yang lain pernah ketinggalan
pesawat usai melakukan pertunjukan di Festival Teater Mahasiswa Nasional
(Festamasio) ke VI di Palembang.
Dia
menceritakan, awalnya rombongan tak bisa pergi ke bandara dengan segera karena
tak ada kendaraan yang mengantar mereka. “Kami berangkat pukul 07.00,
penerbangan dari Palembang ke Balikpapan. Namun sampai pukul 07.30 kami
belum juga mendapatkan angkutan,” kata Putri. Lalu dia menceritakan,
akhirnya seorang kenalan dari tuan rumah penyelenggara acara bersedia
menolong mereka. Putri dan rombongan diantar memakai dua buah mobil yang
berbeda.
Sayang,
hanya rombongan pertama berisi delapan orang anggota Teater Yupa saja
yang berhasil duduk tenang dalam kabin pesawat. Sisanya terpaksa gigit
jari karena sang burung besi telah lepas landas meninggalkan dia dan
teman-temannya. “Parahnya, selain uang saku kami mulai habis.
Perlengkapan kami di koper terbawa oleh teman di pesawat. Yang kami bawa
hanya besi-besi properti pertunjukan dan baju yang melekat di badan,”
kata perempuan yang digelari nama Yumba ini. Beruntung mereka segera
ditolong dengan kawan-kawan dari teater lain.
Putri
cs akhirnya diajak menempuh perjalanan darat dan menyeberangi Selat Sunda
untuk menuju Jakarta. Pertolongan pun mereka dapatkan di Ibukota Negara
ini. “Ada kakak-kakak ALB yang membantu kita selama di sana, uang saku
seadanya tadi ditambah bantuan kakak-kakak ALB kami belikan tiket pulang
untuk ke Balikpapan,” ujarnya. Kisah perjuangan mereka pun tak sampai disitu,
demi totalitas berakting, nyawa pun mereka pertaruhkan.
Kembali
Kahar bercerita, pernah saat salah satu pementasan, senior mereka hampir
kehabisan napas karena dalam perannya mengharuskan lehernya diikat dengan
seutas tali. “Sebenarnya kami punya standardisasi keamanan sendiri.
Namun, mungkin karena terlalu banyak berimprovisasi senior kami hampir
kehabisan napas,” kata Kahar.
Kahar
dan anggota lainnya mengatakan, seluruh jerih payah pengorbanan mereka
akan terbayas lunas saat melihat raut wajah puas para penonton.
“Alhamdulilah minat penonton selalu bagus. Belum pernah pertunjukan kami
ditonton satu, dua orang saja. Kursi penonton selalu penuh,” ucapnya.
Sebagian karya yang mereka hasilkan adalah Orkes Semut, Preman Mawar, dan
Kontelasi Kamar Bingung.
Tak
hanya di seputar Kaltim, mereka juga sering melakukan
pementasan-pementasan di panggung beskala nasional seperti Festamasio dan
Festival Monolog Mahasiswa Nasional atau yang lebih dikenal dengan
STIGMA. Prestasi yang diraih pun tak sedikit. Para anggota teater ini
pernah mendapat penghargaan sebagai aktor terbaik pada ajang Festamasio 3
di Jogjakarta tahun 2005. Selain itu menjadi penyaji, pemain dan penata
lampu terbaik I saat STIGMA ke I di Makassar, dan masih banyak lagi.
Di
balik semua ini, para anggota teater ini berharap pemerintah bisa sedikit
memberi perhatian pada setiap kegiatan seni. “Kami ingin agar pemerintah
membangun sebuah gedung khusus untuk kesenian dan pertunjukan teater.
Saat ini, Indonesia sekalipun belum punya gedung pertunjukan yang layak.
Makanya kami ingin pemerintah mau membangunkannya agar seluruh kegiatan
kesenian bisa dilakukan tanpa hambatan,” harapnya.(*/roe/tom)
|