Rabu, 23 Februari 2011

SANG MAESTRO S.SUDJOYONO By Slamet Priyadi

Gbr. Bukit Gersang
Gbr. S.Sudjoyono
       S. SUDJONJONO lahir di Kisaran,Tebing Tinggi, Sumatra Utara. Tanggal dan bulannya belum jelas diketahui sekitar tahun 1913. Ibunya bernama Narijem, ayahnya bernama SinduDarmo yang merantau ke Deli sebagai pekerja kontrak yaitu orang-oranng yang didatangkan dari tanah Jawa untuk dipekerjakan di perkebunan tanah Deli awal abad ke-20. Pak Sindu memiliki suara bagus dan sering membaca dan melantunkan tembang-tembang jawa mocopat, cerita dongeng berbahasa jawa berbentuk tembang atau nyanyian. Ibunya, Narijem dikenal pula sebagai Dukun yang bisa mengobati berbagai macam penyakit. Oleh karena sudah banyak berjasa pada masyarakat setempat, ditambah karena kecerdasan dan kerajinan serta dedikasinya yang tinggi terhadap perusahaan perkebunan, pak Sindu oleh perusahaan perkebunan diangkat menjadi jururawat di rumah sakit orang hukuman di Tebing Tinggi.
          
            Ketika usianya sudah cukup, S. Sudjojono oleh orang tuanya didaftarkan di sekolah HIS Boedi Oetomo di Tebing Tinggi. Di sekolah tersebut ternyata S.Sudjojono tergolong anak yang cerdas. Karena kecerdasannya inilah ia sangat disayangi oleh kedua orang gurunya yaitu Pak Yudhakusuma dan Pak Sudarminto. Tahun 1926. Demi kemajuan anaknya, orang tua S.Sudjojono merestui putranya diajak Pak  Yudhakusuma ke Jakarta meskipun anaknya itu belum selesai sekolah, duduk di kelas VI.
           
            Di Jakarta S.Sudjojono melanjutkan sekolahnya di HIS Arjuna pertama di Petojo, yang juga merupakan sekolah tempat pak Yudhakusuma mengajar. Pak Yudhakusuma mengangkat S.Sudjojono sebagai anak. Dialah yang selalu memberi dorongan, semangat dan motivasi terhadap sudjojono agar memupuk,mengembangkan kegemarannya dalam menggambar.
         
          Setetelah tamat dari HIS tahun 1928 S.Sudjojono, atas tanggungan bea siswa dari perkumpulan Theosofi, yang mana salah satu aggotanya adalah Pak Yudhakusuma sendiri, melanjutkan sekolahnya ke HIK Gunungsari, Lembang, Bandung. Di sekolah ini, seperti juga murid-murid yang lain S.Sudjojono tinggal di asrama dengan nomor induk 101. Nomor itu selalu ia tuliskan disemua barang-barang invetaris miliknya, gelas, piring, bantal dan lain-lain. Bahkan pada setiap karya-karya lukisannya  S.Sudjojono menuliskan kode SS-101 tersebut.

          Di sekolah ini S.Sudjojono hanya sampai kelas III. Dikeluarkan dari sekolah karena kenakalannya dan kebandelannya yang sering memberontak, mengajak teman-temannya keluyuran di tengah malam, menyulut petasan hingga membangunkan semua orang. Pak Yudhakusuma yang sangat mengasihi putra angkatnya ini mengirim S.Sudjojono ke Yogyakarta. Di sana di tampung oleh Pak Sudarminto yang juga gurunya di Taman Siswa, Tebing Tinggi dulu.

         Tahun 1933, oleh Pak Sudarminto, S.Sudjojono diikutsertakan mengikuti kursus cepat untuk menjadi guru.  Setelah lulus, ia dikirim ke Rogo Jampi ke Rogo Jampi, Jawa Timur, untuk mengajar di sekolah Taman Siswa yang baru dibuka. Di sekolah ini, ia mengajar kurang lebih setahun.
         
           S.Sudjojono juga gemar bermain sepak bola dan pernah masuk Klub Indonesia Muda. Ketika berada di Yogya, ia sempat mengembangkan hobinya itu. Di lapangan sepak bola Yogya inilah S.Sudjojono bertemu dengan Rusli yang di kemudian hari menjadi pelukis terkenal pula. Ketika itu Rusli bersekolah di Taman Muda Taman Siswa.

          Selama satu tahun di Rogo Jampi, Ia kembali ke Jakarta mengjar di sekolah Taman Siswa di jalan Kadiman, Petojo yang dipimpin oleh bapak S. Mangun Sarkoro. Pada waktu itu ia sudah mengembangkan kegemarannya akan meklukis. S.Sudjojono suka membaca, khususnya karaya sastra, filsafat, dan semua yang ada kaitannya dengan seni lukis. Ia sering mendapatkan buku-buku yang dicarinya itu di Pasar Loak Senen, yang kesemuanya itu menjadikan ia tumbuh dan berkembang, menjadi seorang seniman lukis yang diperhitungkan, yaitu seniman yang mempunyai misi dan visi ke depan.
Dia ingin memanfaatkan seni lukis sebagai sarana untuk mencapai tujuan-tujuan rokhaniahnya yang lebih mulia. Dia tidak puas dengan keadaan seni lukis pada waktu itu yang hanya mengungkapkan keindahan fisik semata tentang keindahan alam yang naturalistik. Dia mempunyai visi yang berbeda dari para pelukis pada zamannya, ini sudah nampak pada saat belajar seni lukis pada Pak Pirngadi. Dia disuruh menggambar obyek situasi aktifitas kehidupan  di sekolahnya. Setelah selesai lukisannya selesai dibuat, Pak Pirngadi memberi komentar, "kok kamu menggambar halaman sekolah seperti orang macul saja!". Begitu juga ketika ia menggambar obyek sepatu bola tua miliknya, diberi komentar oleh Pak Irngadi, "kok sepatu tua saja digambar!"        

           Berkait dengan itu, S.Sudjojono mengungkapkannya kepada Pak Yudhakusuma ayah angkatnya, "Pak Yudha kusuma! Mengapa rasa-rasanya gambar saya kok kotor? Akan tetapi pak Yudha hanya menjawab, "Apa maksud kamu dengan kotor?" Justru di situlah keunikkan, keanehan seni       
   , karena mungkin yang kotor itu juga bagus. Jawaban tersebut membesarkan hati S.Sudjojono. Dengan hati yang lebih mantap ia terus melukis, kendatipun ia menyadari bahwa warna-warna dan bentuk garis yang dihasilkan sangat berbeda dengan lukisan-lukisan sezamannya.

          S.Sudjojono berada di rumah sakit menjalani pengobatan sakit paru-parunya di Sanatorium Onrust di P Seribu tahun 1935, ia membaca iklan di salah satu surat kabar yang mengajak para pelukis, siapapun juga, untuk mengikutsertakan karya lukisannya dalam satu pameran bergengsi, berhadiah yang akan diselenggarakan di Kunstkring, Belanda. S.Sudjojono mengikutsertakan lukisannya berjudul "Gadis Dan Kucing" yang menggambarkan seorang gadis bermain dakon. Lukisan tersebut mendapat hadiah pertama. Hal tersebut membuat S.Sudjojono semakin yakin akan bakatnya sebagai pelukis.
 
          Kunstkring merupakan suatu perkumpulan para pelukis Belanda yang sangat aktif mengadakan kegiatan kesenian. Para aggotanya kebanyakan orang Belanda, tetapi ada juga orang Indonesia terutama pelukis akademis. Meskipun karya S.Sudjojono telah mendapat hadiah dari perkumpulan ini, ia belum diterima sebagai anggotanya.

           Sebagai respon dari penolakan Kunstkring yang tidak menerima dirinya sebagai anggota, S.Sudjojono bersama Agoes Djayasoeminta yang juga mengajar di Sekolah Arjuna Petojo, bersama-sama dengan pelukis seangkatannya, mendirikan Persatuan Ahli Gam bar Indonesia, PERSAGI. Ketuanya Agoes Djayasuminta, sekretaris S.Sudjojono. Para anggotanya adalah S.Toetoer, Soekirno, Soetioso,Surono, Otto Djayasuminta, Abdul Salam. Mereka semua pada umumnya adalah para pelukis reklame.

          Fokus utama dari PERSAGI adalah melukis bersama. Minimal sebulan sekali mereka berkumpul untuk melakukan latihan melukis. Terkadang mereka pergi ke suatu tempat untuk mencari obyek lukisan.Setahun mereka berlatih, maka Agoes Djayasuminta merasa sudah tiba waktunya untuk mengadakan pameran bersama. Pameran PERSAGI yang pertama kali diselenggarakan di toko buku G.Kolff, jalan Ir.H.Djuanda. Dalam pameran pertama ini lukisan yang paling banyak dipamerkan adalah karya Agoes Djayasuminta. Sambutan masyarakat baik sekali. Pers Belanda, Indonesia maupun pers Cina memujinya. Hal tersebut menyebabkan keyakinan yang lebih mendalam lagi untuk mengembangkan seni lukis sebagai media ekspresi seninya.

          Oleh seorang direktur pabrik cat "Par" yang juga seorang kolektor lukisan S.Sudjojono, Agoes Djayasuminta dan para pelukis Persagi lainnya    mendapat kesempatan untuk melihat karya-karya pelukis Eropa melalui Pameran Koleksi Regnault yang sempat diadakan beberapa kali. Koleksi lukisannya antara lain karya pelukis yang sudah ternama anatara lain,Van Gogh, George Seurat, Paul Cezanne dan lain-lain.

          Dalam kesempatan ini S.Sudjojono mulai menulis kritik. Memberi ulasan-ulasan yang memuji pameran tersebut. Dialah pelukis Indonesia pertama yang menulis kritik dalam bahasa Indonesia. Gaya kritiknya khas, dengan memberi pujian bahkan makian kepada lukisan-lukisan yang dipamerkan.

          Dalam setiap karya lukisan dan  tulisan-tulisan krtiknya, S.Sudjojono selalu membubuhkan kode "SS 101"  Pada masa ini pula dia melukis Di depan Kelambu  yang sekarang menjadi koleksi Istana Negara Republik Indonesia. Lukisan "Di Depan Kelambu", menggambarkan suana kehidupan keras yang dilukiskan dengan rasa realisme kuat. Seorang kritikus menyatakan bahwa lukisan ini merupakan lukisan yang sama kedudukannya dengan lukisan "Ibu" karya Affandi. Keduanya merupakan tonggak penting dalam perjalanan sejarah seni rupa Indonesia.

          Berbeda dengan gaya para pelukisnya seperti Pirngadi, Abdullah Surio Subroto, Wakidi dan lain-lain, lukisan karya S.Sudjojono dan Affandi tidak bergaya naturalistik. Yang nampak dalam lukisan mereka adalah kebenaran-kebenaran yang nyata dalam hidup bukan hanya tentang alam yang disajikan secara kasat mata, lembut, indah dan naturalistik. Pada lukisan S.Sudjojono dan Affandi yang nampak adalah ungkapan kebenaran yang bersifat rohaniah yang ada dalam jiwa, emosi, sedih, senang ,susah dll.

Rabu, 23 Febuary 2011
Slamet Priyadi di Lido-Bogor

1 komentar:

  1. Lukisan-Lukisan karya S.Sudjojono umumnya tidak bergaya naturalistik. Yang nampak dalam lukisannya adalah kebenaran-kebenaran yang nyata dalam hidup bukan hanya tentang alam yang disajikan secara kasat mata, lembut, indah dan naturalistik. Pada lukisan S.Sudjojono yang nampak adalah ungkapan kebenaran yang bersifat rohaniah yang ada dalam jiwa, emosi, sedih, senang ,susah dll.

    BalasHapus